BPHN.GO.ID – Jakarta. Pemerintah terus mengupayakan agar skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual dapat dieksekusi lebih optimal oleh pelaku industri kreatif. Dalam konteks ini, ‘payung hukum’nya sudah relatif lengkap, antara lain: UU Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif beserta Peraturan Pelaksana (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2019. Namun, Pelaku industri jasa keuangan nampak masih bersikap ‘wait and see’ dalam mengimplementasikan dan mengucurkan dana kepada para pelaku industri kreatif.
Dalam sambutan dan arahannya, Nur Ichwan (Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM), mengatakan, potensi industri kreatif (seperti film, musik, kriya, dan industri gim) sangat besar. Namun, upaya pengembangannya masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya ketersediaan pembiayaan yang sesuai, mudah diakses, dan kompetitif. Pada awalnya, pemerintah melihat kehadiran UU Nomor 24 Tahun 2019 dan PP Nomor 24 Tahun 2022 sebagai solusi untuk mengatasi hal tersebut. Sayangnya, hingga saat ini nampak masih terdapat kegamangan bagi industri keuangan (khususnya perbankan) untuk mengimplementasikannya.
“Dari sisi lembaga keuangan, ada 3 (tiga) critical point terkait regulasi pembiayaan berbasis kekayaan intelektual tersebut, yakni valuasi, alas hukum pengikatan jaminan, serta mekanisme likuidasi agunan kekayaan intelektual apabila terjadi wanprestasi dari calon debitur ,” kata Nur Ichwan, saat memimpin Rapat Narasumber Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum Bidang Perekonomian Industri Kreatif, Senin (1/7) bertempat di Ruang Rapat lantai 2 BPHN, Cililitan – Jakarta Timur.
Di tempat yang sama, Direktur Pengembangan Hukum Departemen Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Aat Windradi mengatakan, secara alamiah, perbankan akan menyalurkan kredit atau pembiayaan sepanjang mereka meyakini bahwa calon debitur memiliki kemampuan bayar dan memegang agunan di mana ketika debitur gagal bayar maka terhadap agunan tersebut dapat dilakukan eksekusi atau lelang. Bahkan, dalam contoh yang ekstrim, sekalipun tidak memegang agunan bank tetap memberikan kredit sepanjang mereka tahu detil kondisi calon debitur.
“Bank utamanya tahu kondisi si debitur, sementara agunan itu nomor sekian. Namun, meski bank sudah tahu karakter debiturnya, bank terikat juga dengan ketentuan yang membatasi bahwa maksimal yang bisa diberikan adalah 10 persen dari modal bank,” jelas Aat, dalam kapasitasnya sebagai narasumber.
Pada prinsipnya, OJK sangat mendukung pengembangan industri kreatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya berbagai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang memberi ‘lampu hijau’ bagi terselenggaranya konsep ini. Namun, mayoritas pelaku ekonomi kreatif berstatus Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sehingga secara alamiah belum terjangkau dengan pembiayaan pada lembaga keuangan formal. Aat menegaskan, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bukan tentang bisa atau tidak. OJK menegaskan bahwa pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bisa namun implementasinya memang masih banyak menghadapi tantangan.
“Perlu lembaga yang melakukan semacam sertifikasi atau apapun yang penting kompeten untuk menilai valuasi kekayaan intelektual secara independen. Lalu, bagaimana cara pengikatan agunan kekayaan intelektual karena mempengaruhi eksekusi agunan tersebut,” kata Aat.
Handi Nugraha (yang mewakili Direktorat Jenderal kekayaan Intelektual Kemenkumham) mengungkapkan, “implementasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual mesti dilakukan secara hati-hati mengingat karakteristiknya, seperti memiliki risiko yang sangat besar karena nilai ekonomi yang fluktuatif.
Di samping itu, kekayaan intelektual tidak bisa berdiri sendiri (stand alone) karena bergantung dengan kekayaan intelektual terkait lainnya atau bidang bisnis lainnya. Handi mengingatkan, “Tidak semua jenis kekayaan intelektual dapat dijadikan jaminan utang. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2019 jo. PP Nomor 24 Tahun 2022, hanya objek kekayaan intelektual yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM yang dapat dijadikan jaminan. Sementara itu, Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) tidak terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM melainkan di Kementerian Pertanian.
Namun demikian, sama halnya dengan OJK, Handi memastikan, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual sangat mendukung dan menyambut positif regulasi pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bagi industri kreatif. Secara prinsip, konsep pembiayaan serupa telah tercantum juga dalam rezim Peraturan Perundang-undangan di bidang Kekayaan Intelektual walau baru dikenal dalam Hak Cipta dan Paten. Maka dari itu, perlu dibuatkan aturan pelaksanaan untuk jaminan fidusia untuk paten, hak cipta, dan jenis-jenis kekayaan intelektual lainnya.
Sawitri (selaku anggota Pokja dari unsur OJK) juga memperkaya diskusi dengan mengungkapkan, produksi film “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)” dapat menjadi salah satu contoh praktik yang dapat dikembangkan dalam konteks ini”. Dalam rapat ini, Gunawan Paggaru (Ketua Badan Perfilman Indonesia), sebagai salah satu anggota Pokja, juga menegaskan bahwa hal ini menjadi indikator ‘kehadiran’ negara dalam mengembangkan industri kreatif di Indonesia, khususnya pada industri perfilman. Gunawan juga mendeskripsikan secara singkat success story yang terjadi di Korea selatan mengenai hal ini.
Beberapa anggota Pokja internal BPHN (Hesti, Nanda, dan Ardy) juga merespon bahwa perlu diupayakan terobosan yang lebih efektif guna meningkatkan efektivitas regulasi ini. Pokja akan berupaya menghasilkan rekomendasi terbaik guna meningkatkan efektivitas keberlakuan PP Nomor 24 Tahun 2022, khususnya terhadap industri perbankan sebagai lembaga keuangan yang relatif paling populer bagi masyarakat dalam konteks pengembangan industri kreatif.
*********