Siaran Pers: Kepala BPHN Optimis Kades dan Lurah Alumni PJA dapat Kurangi Beban Kasus di Pengadilan


 

BPHN.GO.ID - Jakarta. Indonesia, dengan keberagaman budaya dan geografis yang luas, menghadapi tantangan dalam menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul di tengah masyarakat. Terbatasnya jumlah advokat yang dapat memberikan layanan hukum di tingkat desa membuat peran penting aktor lain, seperti kepala desa dan lurah, menjadi sangat krusial.

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Widodo Ekatjahjana, menyoroti besarnya peran strategis serta keterlibatan kepala desa dan lurah sebagai paralegal Non Litigation Peacemaker (NLP) dalam memberikan layanan dan mewujudkan supremasi hukum di tengah-tengah masyarakat. 

 

“Kepala desa dan lurah menyelesaikan masalah-masalah secara musyawarah, kekeluargaan, dan prinsip kerukunan,” kata Widodo ketika membuka Bimbingan Teknis Bagi Kades/Lurah Selaku Non Litigation Peacemaker sekaligus Pelantikan Asosiasi Juru Damai/Non Litigation Peacemaker Association (NLPA), Selasa (12/11/2024). 

 

Bimbingan teknis ini merupakan kelanjutan penguatan kapasitas kepada kepala desa dan lurah alumni Paralegal Justice Award (PJA) tahun 2023 dan 2024. PJA sendiri merupakan program kerja sama Kementerian Hukum dan Mahkamah Agung (MA) untuk meningkatkan kompetensi dan mengapresiasi kepala desa dan lurah yang berhasil menengahi sengketa warga secara damai. Peserta yang lulus Paralegal Academy berhak menyandang titel Non Litigation Peacemaker (NLP). 

 

Melalui bimbingan teknis, BPHN berharap dapat memaksimalkan peran kepala desa dan lurah sebagai mediator di tingkat akar rumput. Widodo optimis bahwa kegiatan semacam ini dapat mengurangi jumlah kasus yang masuk ke aparat penegak hukum dan pengadilan, dengan pendekatan restorative justice yang semakin berkembang.

 

“Jika kegiatan bimbingan teknis seperti ini terus ditambah, maka masalah sosial atau hukum yang masuk ke aparat penegak hukum dapat berkurang. Ini yang kita sebut dengan restorative justice, sebuah pendekatan yang terus dikembangkan oleh insan penegak hukum dan peradilan,” terang Widodo dalam kegiatan yang berlangsung di Auditorium Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Hukum dan HAM, Depok. 

 

Lebih lanjut, Widodo juga menyambut baik terbentuknya asosiasi NLP alumni PJA yang bernama Non Litigation Peacemaker Association (NLPA). Menurutnya, asosiasi ini dapat menjadi wadah untuk kegiatan-kegiatan positif dan sinergi dengan berbagai kementerian dan lembaga.

 

“Saya berpesan agar asosiasi ini jangan terlibat pada politik praktis sehingga abai dan lalai dengan janji dan sumpah yang Bapak/Ibu ucapkan. Kehadiran asosiasi ini benar-benar ditujukan untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi, penguatan berbagai sektor, serta menciptakan good governance pemerintahan,” imbuh Kepala BPHN. 

 

Ketua Mahkamah Agung, Sunarto, dalam sambutannya yang diwakili oleh Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung, YM Syamsul Maarif, sepakat dengan pernyataan Widodo bahwa tidak semua sengketa harus selesai di pengadilan. Di negara maju, mayoritas sengketa dapat selesai melalui mediasi. 

 

“Tren di dunia internasional, hanya sengketa akut yang dibawa ke pengadilan. Sengketa lainnya, termasuk bisnis internasional, bisa diselesaikan secara damai, tidak perlu ke pengadilan. Di belahan dunia yang sudah maju, arbitrase sudah sama populernya dengan pengadilan,” ujar Syamsul Maarif.

 

Syamsul juga mengungkapkan bahwa jumlah perkara yang ada di Indonesia naik tiap tahunnya. Di pengadilan tingkat pertama, misalnya, jumlah perkaranya mencapai 2,3 juta. Peningkatan jumlah perkara juga dialami oleh Mahkamah Agung.

 

“Secara rata-rata, jumlah perkara di MA itu naik sekitar 10% setiap tahunnya. Tahun 2012 jumlah perkara yang masuk sekitar 13.000. Tahun 2023, perkaranya sekitar 27.000. Tahun ini, hingga bulan Oktober saja, perkaranya sudah mencapai 30.000. Itu bahkan belum sampai Desember,” kata Syamsul memaparkan.

 

Ini menunjukkan bahwa solusi penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution) perlu ditingkatkan agar jumlah perkara tidak naik terus. Oleh karena itu, Mahkamah Agung mendukung program Paralegal Justice Award sebagai bagian dari upaya peningkatan alternative dispute resolution tersebut.  

 

“Mahkamah Agung sangat menyambut baik penyelesaian sengketa secara damai yang dilakukan oleh kepala desa dan lurah. Sejak tahun 2023 kami sudah terlibat dan Ketua Mahkamah Agung juga memberikan perhatian khusus. Kami juga siap mendorong peningkatan kompetensi kepala desa dan lurah dalam penyelesaian sengketa di tingkat desa,” tambah Syamsul. 

 

Bimbingan teknis kali ini menghadirkan berbagai narasumber ahli di bidang mediasi, hukum, dan penyelesaian sengketa alternatif dari berbagai kementerian dan lembaga seperti Mahkamah Agung, Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, dan PT. Pegadaian. Kegiatan tersebut diikuti oleh 586 kepala desa alumni PJA 2023 dan 2024 secara hybrid, hadir luring di BPSDM Hukum dan HAM serta secara daring melalui siaran langsung Youtube di BPHNTV Official.

 

Pembukaan kegiatan bimbingan teknis ini turut dihadiri oleh Kepala Pusat Pengembangan Pelatihan Fungsional dan HAM, Ceno Hersusetiokartiko, Plt. Kepala Pusat Pembudayaan dan Bantuan Hukum Sofyan, Kepala Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional Jonny P. Simamora, perwakilan kepala desa dan lurah alumni PJA, perwakilan pegawai BPHN serta BPSDM Hukum dan HAM. (HUMAS BPHN)