BPHN.GO.ID – Jakarta. Rancangan Undang-Undang tentang Pembinaan Hukum Nasional (RUU PHN) dan Rancangan Peraturan Presiden tentang Program Penyusunan, Monitoring, dan Evaluasi serta Kepatuhan Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pelaksanaan Hukum di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah (RPerpres Kepatuhan Hukum) saat ini telah masuk dalam tahap pembahasan. Kedua peraturan ini bertujuan untuk membangun sistem yang solid dalam pembinaan hukum di Indonesia, termasuk pengawasan kepatuhan hukum di masyarakat.
Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN, Arfan Faiz Muhlizi, mengungkapkan bahwa saat ini muncul beberapa mispersepsi masyarakat terhadap RUU PHN dan RPerpres Kepatuhan Hukum. Informasi yang tidak benar sering kali menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, sehingga seluruh jajaran di BPHN perlu untuk meluruskan hal tersebut.
“Perhatian yang pertama perlu diluruskan bahwa RUU dan RPerpres ini tidak akan membebani masyarakat dan menambah proses birokrasi. Kedua, peraturan ini tidak semata-mata dimaksudkan untuk mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) saja,” ungkap Arfan dalam Apel Pagi Pegawai di Lingkungan BPHN, Senin pagi (26/02/2024).
Arfan menjelaskan bahwa kedua hal ini memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Ia meyakinkan bahwa RUU PHN dan RPerpres Kepatuhan Hukum tetap mengedepankan prinsip kemudahan berusaha. Kedua peraturan tersebut tidak akan menambah beban kepada masyarakat, karena tidak diterapkan pada proses administrasi di awal.
“Sebagai contoh, audit hukum. Hal ini dilakukan untuk memastikan kepatuhan hukum pada badan usaha, badan hukum, dan badan publik. Audit ini tidak dilakukan akan memulai usaha atau pada saat pendaftaran badan usaha atau badan hukum, melainkan setelàh usaha dijalankan” jelas Arfan.
Arfan juga menegaskan bahwa PNBP di sini bertujuan untuk menjaga agar kepatuhan hukum dan kesadaran hukum masyarakat dapat terlaksana dengan baik..
“Dalam rumusan PNBP, ada konsep affirmative action. Sebagai contoh, sertifikasi Paralegal. Ada syarat-syarat yang memungkinkan seorang Paralegal yang disertifikasi dibebankan PNBP sebesar Rp 0. Misalnya, ia dapat membuktikan bahwa Paralegal tersebut bergerak di sektor sosial masyarakat di pelosok atau pedesaan,” tambah Kapusren.
Arfan menekankan bahwa RUU PHN dan RPerpres Kepatuhan Hukum tidak akan memberatkan masyarakat, melainkan memberikan perlindungan. Profesi terkait seperti Auditor Hukum dan Paralegal juga dapat lebih terlegitimasi. Ini penting untuk menghindari praktik sembrono oleh oknum yang melaksanakan tugas Auditor Hukum dan Paralegal tanpa kualifikasi atau kapasitas di bidangnya.
Oleh karena itu, Arfan mengajak seluruh staf BPHN untuk bersama-sama menyampaikan informasi yang benar mengenai substansi RUU PHN dan RPerpres Kepatuhan Hukum.
“Hal ini juga berlaku untuk informasi terkait pelayanan di BPHN. Jika ada pihak yang memanfaatkan pelayanan publik di BPHN untuk keuntungan pribadi, kita harus memberikan klarifikasi kepada masyarakat,” pungkas Arfan. (HUMAS BPHN)