Era globalisasi dan kemajuan teknologi membawa dampak pada semakin meningkatnya transaksi lintas negara dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan yang dapat memberikan kepastian hukum dan mengatur perkara yang melibatkan pihak dari berbagai negara. Pemerintah berusaha mengakomodir kebutuhan hukum tersebut dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI).
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Widodo Ekatjahjana berpendapat bahwa RUU HPI akan memperkuat posisi Indonesia dalam persaingan global. “Undang-Undang (UU) yang jelas dan komprehensif di bidang hukum perdata internasional akan menunjukkan komitmen tinggi dalam mewujudkan hubungan bisnis yang sehat dan meningkatkan kredibilitas kita di mata negara lain. Oleh karena itu, RUU HPI sangat relevan dalam menjawab tantangan globalisasi dan jadi alat penting dalam membangun hubungan internasional yang lebih baik serta berkelanjutan,” ujarnya ketika memberikan keterangan mengenai RUU HPI di Jakarta, Jumat (31/03/2023).
Widodo menambahkan, Pengaturan Hukum Perdata Internasional (HPI) Indonesia saat ini masih bertumpu pada pengaturan warisan Hindia Belanda dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23) disingkat AB. Ketentuan ini bertujuan dalam melindungi aktivitas hukum warga negara Indonesia (WNI) yang bersentuhan dengan warga negara Asing WNA yaitu dalam Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 AB.
Sebagai informasi, Pasal 16 AB mengatur tentang status personal dan wewenang seseorang, yang mencakup peraturan mengenai hukum perorangan dan hukum kekeluargaan bagi status hukum WNI. Pasal 17 AB mengatur mengenai benda bergerak maupun benda tidak bergerak harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat di mana benda itu terletak (lex rei sitae), terlepas dari pemiliknya. Sedangkan Pasal 18 AB mengatur tentang yurisdiksi pengadilan yang menangani permasalahan hukum keperdataan tersebut
“Dalam implementasinya saat ini, ketiga pasal tersebut sudah tidak lagi memadai. Mengingat selain karena merupakan peninggalan kolonial yang dibuat pada pertengahan abad-18, juga dikarenakan masih menggunakan pendekatan bahwa keberlakuan HPI hanya dibatasi pada wilayah keberlakuan (territorial),” kata Widodo.
Perjalanan pembahasan RUU HPI ini sendiri, menurut Widodo, berjalan panjang dan mengalami pasang surut. Pada 1983, BPHN mulai menyusun Naskah Akademik (NA) dan Draft RUU HPI untuk kali pertama. Setelah sempat hilang dari peredaran, pembahasan NA kembali dilanjutkan hingga terakhir diselesaikan pada tahun 2020.
“Dari NA versi tahun 2020, kemudian disusun RUU HPI pada 2021. Dilanjutkan dengan pembahasan Panitia Antar Kementerian pada 2022. Saat ini telah memasuki tahap harmonisasi di Kemenkumham. Jika proses ini dapat diselesaikan pada bulan Juli 2023, maka RUU HPI ini akan diusulkan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023 melalui mekanisme evaluasi Prolegnas sekitar Juli-Agustus mendatang,” ungkap Kepala BPHN tersebut.
Yu Un Oppusunggu, staf pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa kebutuhan RUU HPI adalah suatu keniscayaan dengan adanya kemajuan teknologi seperti saat ini. “RUU ini menunjukkan kehadiran negara dalam permasalahan hukum warga negara dan penduduk yang melibatkan unsur asing. Selain itu, RUU ini juga sebagai sebuah jawaban atas perkembangan pengaturan hukum perdata di dunia internasional, meningkatkan daya saing Indonesia serta menciptakan pemberdayaan ekonomi wilayah perbatasan,” pungkasnya.
Muhamad Risnain dari Fakultas Hukum Universitas Mataram mengungkapkan bahwa kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum perdata internasional sangat menonjol di daerah-daerah. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, banyak aktivitas hukum perdata yang melibatkan orang asing, baik di lapangan hukum perorangan, hukum keluarga, maupun hukum kebendaan.
“Sebagai contoh, maraknya kasus pertanahan yang sering disebut perjanjian nominee atau perjanjian yang menggunakan nama WNI di Bali dan NTB. Pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada WNA untuk bebas melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilikinya. Banyak kasus nominee yang berakhir dengan kekalahan WNA di sidang Pengadilan,” tambah Risnain.
Demikian pula dengan kasus-kasus seperti kawin campur antara WNI dan WNA. Bagaimana status anak lahir, adopsi, pewarisannya jika terjadi kasus perceraian orang tua yang melakukan kawin campur, kasus anak WNA yang bermukim di Indonesia sedang kedua orang tuanya meninggal dan sebagainya. Risnain berpendapat bahwa perkara-perkara semacam ini membutuhkan kepastian hukum.
RUU HPI diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang di era globalisasi. Terutama dalam kerja sama internasional di bidang bisnis, investasi, dan sosial budaya yang sangat dinamis. Selain itu, RUU HPI akan memberikan perlindungan kepada subyek hukum yang melakukan hubungan keperdataan dan komersial yang mengandung unsur asing. RUU HPI juga menjadi pedoman bagi hakim dalam menentukan kewenangan mengadili dalam menyelesaikan perkara hukum perdata internasional. ***
Humas Badan Pembinaan Hukum NasionalWebsite: bphn.go.idNarahubung: Koordinator Hubungan Masyarakat dan Kerja SamaT.M.M. Ruby Friendly (0811-8686-269)
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Widodo Ekatjahjana berpendapat bahwa RUU HPI akan memperkuat posisi Indonesia dalam persaingan global. “Undang-Undang (UU) yang jelas dan komprehensif di bidang hukum perdata internasional akan menunjukkan komitmen tinggi dalam mewujudkan hubungan bisnis yang sehat dan meningkatkan kredibilitas kita di mata negara lain. Oleh karena itu, RUU HPI sangat relevan dalam menjawab tantangan globalisasi dan jadi alat penting dalam membangun hubungan internasional yang lebih baik serta berkelanjutan,” ujarnya ketika memberikan keterangan mengenai RUU HPI di Jakarta, Jumat (31/03/2023).
Widodo menambahkan, Pengaturan Hukum Perdata Internasional (HPI) Indonesia saat ini masih bertumpu pada pengaturan warisan Hindia Belanda dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23) disingkat AB. Ketentuan ini bertujuan dalam melindungi aktivitas hukum warga negara Indonesia (WNI) yang bersentuhan dengan warga negara Asing WNA yaitu dalam Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 AB.
Sebagai informasi, Pasal 16 AB mengatur tentang status personal dan wewenang seseorang, yang mencakup peraturan mengenai hukum perorangan dan hukum kekeluargaan bagi status hukum WNI. Pasal 17 AB mengatur mengenai benda bergerak maupun benda tidak bergerak harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat di mana benda itu terletak (lex rei sitae), terlepas dari pemiliknya. Sedangkan Pasal 18 AB mengatur tentang yurisdiksi pengadilan yang menangani permasalahan hukum keperdataan tersebut
“Dalam implementasinya saat ini, ketiga pasal tersebut sudah tidak lagi memadai. Mengingat selain karena merupakan peninggalan kolonial yang dibuat pada pertengahan abad-18, juga dikarenakan masih menggunakan pendekatan bahwa keberlakuan HPI hanya dibatasi pada wilayah keberlakuan (territorial),” kata Widodo.
Perjalanan pembahasan RUU HPI ini sendiri, menurut Widodo, berjalan panjang dan mengalami pasang surut. Pada 1983, BPHN mulai menyusun Naskah Akademik (NA) dan Draft RUU HPI untuk kali pertama. Setelah sempat hilang dari peredaran, pembahasan NA kembali dilanjutkan hingga terakhir diselesaikan pada tahun 2020.
“Dari NA versi tahun 2020, kemudian disusun RUU HPI pada 2021. Dilanjutkan dengan pembahasan Panitia Antar Kementerian pada 2022. Saat ini telah memasuki tahap harmonisasi di Kemenkumham. Jika proses ini dapat diselesaikan pada bulan Juli 2023, maka RUU HPI ini akan diusulkan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2023 melalui mekanisme evaluasi Prolegnas sekitar Juli-Agustus mendatang,” ungkap Kepala BPHN tersebut.
Yu Un Oppusunggu, staf pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa kebutuhan RUU HPI adalah suatu keniscayaan dengan adanya kemajuan teknologi seperti saat ini. “RUU ini menunjukkan kehadiran negara dalam permasalahan hukum warga negara dan penduduk yang melibatkan unsur asing. Selain itu, RUU ini juga sebagai sebuah jawaban atas perkembangan pengaturan hukum perdata di dunia internasional, meningkatkan daya saing Indonesia serta menciptakan pemberdayaan ekonomi wilayah perbatasan,” pungkasnya.
Muhamad Risnain dari Fakultas Hukum Universitas Mataram mengungkapkan bahwa kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum perdata internasional sangat menonjol di daerah-daerah. Di Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, banyak aktivitas hukum perdata yang melibatkan orang asing, baik di lapangan hukum perorangan, hukum keluarga, maupun hukum kebendaan.
“Sebagai contoh, maraknya kasus pertanahan yang sering disebut perjanjian nominee atau perjanjian yang menggunakan nama WNI di Bali dan NTB. Pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada WNA untuk bebas melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang dimilikinya. Banyak kasus nominee yang berakhir dengan kekalahan WNA di sidang Pengadilan,” tambah Risnain.
Demikian pula dengan kasus-kasus seperti kawin campur antara WNI dan WNA. Bagaimana status anak lahir, adopsi, pewarisannya jika terjadi kasus perceraian orang tua yang melakukan kawin campur, kasus anak WNA yang bermukim di Indonesia sedang kedua orang tuanya meninggal dan sebagainya. Risnain berpendapat bahwa perkara-perkara semacam ini membutuhkan kepastian hukum.
RUU HPI diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang di era globalisasi. Terutama dalam kerja sama internasional di bidang bisnis, investasi, dan sosial budaya yang sangat dinamis. Selain itu, RUU HPI akan memberikan perlindungan kepada subyek hukum yang melakukan hubungan keperdataan dan komersial yang mengandung unsur asing. RUU HPI juga menjadi pedoman bagi hakim dalam menentukan kewenangan mengadili dalam menyelesaikan perkara hukum perdata internasional. ***
Humas Badan Pembinaan Hukum NasionalWebsite: bphn.go.idNarahubung: Koordinator Hubungan Masyarakat dan Kerja SamaT.M.M. Ruby Friendly (0811-8686-269)