Page 34 - Warta BPHN - Tahun Ke IV Edisi XXI September - Desember 2017

Basic HTML Version

34
Warta BPHN
Tahun IV Edisi XXI September - Desember 2017
Lensa BPHN
FGD Pemenuhan hak kesehatan
Jakarta-BPHN
- Pusat
Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional
menye­lenggarakan Focus Group
Discussion (FGD) dengan tema
Pemenuhan Hak Kesehatan, Selasa
(12/9), bertempat di Ruang Rapat
Lantai 2, BPHN. Tujuan dari FGD
ini ialah untuk melakukan analisis
dan evaluasi terhadap peraturan
perundang-undangan
me­nge­nai
kesehatan. Acara dimulai dengan
tanggapan dari semua peserta FGD
kemudian dilanjutkan paparan dari
narasumber. Hadir sebagai narasumber
pada FGD tersebut adalah Dr. Asih Eka
Putri dari Dewan Konsultan Martabat
Jaminan Nasional dan Dr. M. Nasser
dari Dewan Pakar PB IDI. Dr. Asih Eka
Putri dalam paparannya menyoroti
reformasi dalam regulasi kesehatan
yaitu perlu menata ulang semua
peraturan perundang-undangan di
bidang kesehatan dengan meletakkan
SKN sebagai peraturan tertinggi di
bidang kesehatan, mengatur kembali
undang-undang rumpun kesehatan
untuk disesuaikan dengan hirarki/
jenis peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan subsistem
SKN, mengintegrasikan pendidikan
nasional dengan sistem pembangunan
perekonomian, dan melakukan simpli­
fikasi peraturan dengan mengatur
secara koheren dan kolektif serta perlu
segera mengatur standar pela­yanan
kesehatan nasional dan pedoman
nasional
praktek
kedokteran.
Sedangkan M. Naser menyoroti dis­
harmoni antara Perpres No. 12 Tahun
2013 tentang Jaminan Kesehatan
dengan
peraturan
perundang-
undangan yang terkait dengan
kesehatan antara lain UU SJSN, UU
BPJS dengan menguraikan beberapa
pasal yang saling bertentangan. Lebih
kanjut M. Naser menyampaikan bahwa
dengan adanya benturan antara
perpres dengan undang-undang
menim­bulkan konsekuensi yang serius
antara lain:
1) Badan Hukum Publik (BHP) tidak
sempurna dalam operasional
kare­na keterbatasan yang dicip­
takan melalui beberapa Perpres
yang kontra produktif karena
berpotensi terjadinya konflik kewe­
nangan dan konflik tanggung
jawab. Sebagai contoh dalam
membuat regulasi dan keputusan-
keputusan operasional, BPJS
tidak mandiri karena tergantung
pada Regulator (kementerian
Kesehatan). Semua atau hampir
semua regulasi BPJS dibuat oleh
Pemerintah (Kemenkes). Hal ini
menyebabkan BPJS berada pada
kedudukan hukum yang gamang,
tidak jelas sehingga menyebabkan
pertanggungan jawab hukum
Badan Hukum Publik kepada
Presiden tidak sempurna.
2) BPJS Kesehatan tidak dapat sepe­
nuhnya melakukan kewenangan
opera­sional secara optimal dan
mandiri sesuai perintah undang-
undang karena menerima pem­
batasan-pembatasan yang tidak
perlu yang selama ini diatur oleh
peraturan perundangan dibawah
undang-undang (Perpres).
“Walau masih harus dibuktikan
dengan penelitian lanjutan bahwa
kelemahan BPJS dalam pelayanan
kesehatan dan kelemahan lain di
lapangan serta terjadinya deficit 9
Triliun dalam 3 tahun beroperasi
mungkin saja terjadi disebabkan antara
lain oleh karena adanya benturan
dan konflik kewenangan yang terjadi
akibat langsung muatan Perpres
yang bertentangan dengan amanah
undang-undang yang pada gilirannya
telah membuat BPJS terkungkung dan
terbatas kualitas operasionalnya”, ujar
Naser. (AAA/CF/RMH)
FGD PEMBANGUNAN INDUSTRI WISATA BAHARI
Jakarta-BPHN ,
Pusat
Ana­lisis dan Evaluasi Hukum Nasional
me­nga­dakan Focus Group Discussion
(FGD) tentang Pembangunan Indus­
tri Wisata Bahari, Rabu (13/9). Penye­
lenggaraan FGD merupakan rangkaian
dari kegiatan Kelompok Kerja (Pokja)
Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai
Pembangunan Industri Wisata Bahari.
Acara FGD di buka oleh Kepala Pusat
Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional,
Ibu Pocut Eliza, S.Sos., S.H., M.H. Dalam
sambutannya beliau mengatakan
bahwa pengaturan pembangunan