Page 35 - Warta BPHN - Tahun Ke IV Edisi XXI September - Desember 2017

Basic HTML Version

35
Warta BPHN
Tahun IV Edisi XXI September - Desember 2017
industri wisata tidak hanya terkait
dengan UU kepariwisataan melainkan
terkait dengan pengaturan di sektor
lainnya seperti kelautan, kehutanan,
lingkungan hidup, sumber daya alam
lainnya, dan sebagainya. Oleh karena
itu dengan analisis dan evaluasi hukum
diharapkan peraturan perundang-
undangan di satu sektor dengan sektor
lainnya dapat berjalan secara harmonis
karena dalam melakukan analisis dan
evaluasi hukum kita melakukan analisis
dan evalauasi baik terhadap substansi
hukum, struktur hukum, maupun
budaya hukum.
FGD dibagi dalam 2 sesi, pada
sesi pertama dengan narasumber
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri dengan
topik pembangunan industri wisata
bahari yang berdaya saing, inklusif
dan berkelanjutan dalam rangka
pemberdayaan ekonomi kelautan.
Dalam paparannya Prof. Rokhmin
mengatakan bahwa Indonesia memiliki
potensi wisata bahari yang sangat besar
karena sebagian besar wilayahnya
adalah lautan. Pariwisata bahari
merupakan salah satu sektor dari 11
sektor ekonomi kelautan yang dapat
meningkatkan akselerasi pertumbuhan
ekonomi nasional. Namun sampai saat
ini, kontribusi sektor pariwisata bahari
bagi kemajuan dan kesejahteraan
bangsa masih relatif dan terdapat pula
tantangan dalampembangunan antara
lain; sensitivitas lingkungan pantai dan
pesisir, dampak lingkungan, ekonomi
dan sosial budaya dari kegiatan wisata
bahari. Selain itu karakter pulau-
pulau kecil yang memiliki beberapa
keterbatasan sumber daya seperti
energi, bahan material bangunan
serta ketergantungan dengan akses
laut dan udara, menyebabkan pem­
bangunan fasilitas dan aksesi­bilitas
memerlukan biaya tinggi dan lintas
sektor. Sementara dalam konteks
pembangunan pariwisata bahari
harus bisa mewujudkan pem­ba­
ngunan yang berdaya saing, inklusif
dan berkelanjutan. Untuk men­
jamin keberlanjutan (
sustainability
)
pariwisata bahari maka, semua pem­
ba­ngunan (bisnis) pariwisata bahari
harus dikerjakan secara ramah
lingkungan dan menganut prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development).
Pada sesi kedua dengan nara­
sumber Ir. Suharyanto, M.Sc (Direktur
Perencanaan Ruang Laut Kementerian
Kelautan dan Perikanan), dengan topik
Pengaturan Zonasi Dalam Pengelolaan
Ruang Laut dan Kaitannya dengan
Pengembangan Industri Wisata Baha­
ri. Dalam paparannya Suharyanto
menga­takan bahwa masih sering
terjadinya konflik pemanfaatan wilayah
pesisir karena belum adanya tata ruang
yang terencana di wilayah pesisir yang
mengakibatkan tidak adanya strategi
dan arah kebijakan pembangunan
wilayah pesisir. Sebagian besar daerah
belum memiliki Rencana Zona­
si Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau
Kecil (RZWP3K) sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 7 UU No 27
Tahun 2007 Jo Uu No 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dan
pengaturan Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K)
yang dalam UU PWP3K yang
harus diserasikan, diselaraskan dan
diseimbangkan dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) tidak sesuai
dengan konsep negara Indonesia
sebagai negara kepulauan (
archipelago
state
), seharusnya menurut Suharyanto
justru RTRW yang menyesuaikan
dengan RZWP3K.
Permasalahan yang menonjol
dalam FGD ini adalah terkait dengan
masalah zonasi khususnya kelem­
bagaannya. Dalam Lampiran UU No
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah kewenangan perihal urusan
dan sub urusan bidang kelautan dan
perikanan hanya ada pada pemerintah
pusat dan provinsi, sementara pemba­
gian urusan pemerintahan bidang
pekerjaan umum dan penataan
ruang
mempunyai
kewenangan
yang sama baik pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, maupun peme­
rintah kabupaten/kota yakni untuk
melaksanakan
penyelenggaraan
pena­taan ruang di level nasional, pro­
vinsi, dan kabupaten/kota. Dengan
demi­kian, maka RZWP3K hanya
dapat dibentuk pada level provinsi,
sedangkan RTRW dapat dibentuk
pada level nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Jadi perlu sinkronisasi
kelembagaan di tingkat kabupaten/
kota dalam penyusunan zonasi dalam
hal ini antara RTRW dan RZWP3K.
Acara ini dihadiri oleh
stake­
holders
terkait antara lain Kemen­
terian Pariwisata, Kementerian ATR,
Bappenas, BNSP, Kementerian Perhu­
bungan, Barekraf, Care Tourism, Kiara,
dan Gahawisri dengan moderator
Ir. Soehartini Sekartjakrarini. Ph.D
(pengamat pariwisata).
Diharapkan melalui FGD ini dari
narasumber dan pembahas FGD dapat
diperoleh masukan, saran sekaligus
informasi khususnya yang terkait
dengan dimensi potensi disharmoni,
efektivitas Implementasi PUU, sekaligus
memperkaya dan mempertajam hasil
analisis dan evaluasi yang dilakukan
oleh Pokja. (AAA/RMH/CF)- editing
Nur