BPHN.GO.ID – Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional melalui Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional menyelenggarakan acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Dampak dan Tindak Lanjut Putusan MK No. 32/PUU-XVIII/2020 (UU No. 40/2014 tentang Perasuransian) pada hari Selasa (26/10/2021) secara hybrid Zoom meeting di Aula Mudjono Gedung BPHN, Jakarta.

Acara diawali dengan penyampaian laporan kegiatan oleh Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional, Yunan Hilmy, selanjutnya, dibuka oleh Sekretaris BPHN, Audy Murfi MZ mewakili Kepala BPHN. Dalam arahan Kepala BPHN yang dibacakan oleh Sekretaris BPHN tersebut disampaikan bahwa penyelenggaraan FGD ini dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa terdapat Putusan MK No. 32/PUU-XVIII/2020 yang dalam salah satu amar nya menyebutkan: “Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan”. Adapun Putusan MK a quo diucapkan dalam Sidang Pleno MK yang terbuka untuk umum pada hari Kamis, 14 Januari 2021.

Dalam acara ini, hadir 2 (dua) orang narasumber, yakni Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Dr. Fajar Laksono Soeroso dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Bayu Dwi Anggono. Acara ini dipandu oleh Kepala Bidang Ekuindagtur Pusanev BPHN, Reza Fikri Febriansyah selaku moderator dan dihadiri oleh para pejabat struktural dan fungsional dari Kemenkumham (BPHN dan Ditjen PP), Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, serta Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam paparannya, Dr. Fajar Laksono Soeroso menyampaikan beberapa hal penting, antara lain, pemahaman mengenai konsep dasar dan berbagai varian mandat konstitusional dalam suatu Putusan MK, problem utama dalam perkara a quo, beberapa mandat konstitusional dalam Putusan MK a quo, serta urgensi kepatuhan Pembentuk UU terhadap Putusan MK. Selanjutnya, Dr. Bayu Dwi Anggono dalam paparannya juga menyampaikan beberapa tawaran solusi untuk menindaklanjuti Putusan MK a quo. Dr. Bayu Dwi Anggono yang menjadi salah seorang Ahli yang diajukan oleh para pemohon dalam perkara a quo juga menyampaikan bahwa sudah menjadi kewajiban Pembentuk UU untuk mematuhi dan melaksanakan setiap Putusan MK. Dr. Bayu Dwi Anggono juga memberikan penekanan mengenai beberapa konsekuensi apabila terdapat potensi penundaan atau bahkan pembangkangan terhadap prinsip-prinsip konstitusi (constitutional disobedience), khususnya yang terdapat dalam putusan MK a quo.

Dalam sambutan penutup yang disampaikan oleh Yunan Hilmy, ditegaskan bahwa semoga segala dialektika yang lahir dalam acara ini dapat menghasilkan tawaran dan rekomendasi yang terbaik dalam rangka pelaksanaan dan kepatuhan terhadap Putusan MK No. 32/PUU-XVIII/2020 sebagai salah satu implementasi tugas dan fungsi BPHN dalam konteks pembinaan hukum nasional. (Kontributor Humas BPHN)

Share this Post