BPHN.GO.ID – Jakarta. Selama ini banyak orang yang memilih profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena dianggap pekerjaan yang aman dan minim PHK. Efek negatifnya, kecenderungan ini akan berimplikasi pada pekerjaan yang tidak profesional atau ala kadarnya saja. Namun, apakah benar PNS merupakan pekerjaan yang benar-benar aman, terlebih di era disrupsi seperti ini? 

Founder IQ Development Program (IQ DEVPRO) Radita Sonixtus Arauna berpendapat bahwa disrupsi terbukti telah menggerus beberapa industri dan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga bisa kehilangan pekerjaannya apabila tidak cepat mengikuti perubahan dan perkembangan teknologi. Radita mengatakan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak memaknai disrupsi sebagai perubahan, gangguan atau gelora, melainkan mengartikannya sebagai hal yang tercabut dari akarnya. 

“Jangan bayangkan disrupsi adalah perubahan zaman. Kalau suatu institusi tidak bisa menghadapi disrupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) misalnya, bisa kehilangan tupoksinya. Kenapa? Karena kita bisa dianggap tidak ada lagi manfaatnya. Bisa jadi suatu instansi dapat ditutup dan aparaturnya dipindahkan ke instansi lain akibat disrupsi ini,” ujar Radita dalam kegiatan Seminar Pembinaan Revolusi Mental dengan tema “Menyiapkan ASN HEBAT dalam Menghadapi Era Disrupsi Teknologi Informasi”, Kamis (09/03/2023).

Di samping membawa kedukaan, pandemi Covid-19 secara tidak langsung juga mengakselerasi perkembangan teknologi digital di dunia. Perkembangan ini diikuti oleh disrupsi. Akan banyak sektor pekerjaan yang terancam punah karena adanya perkembangan teknologi seperti artificial intelligence.

Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai ASN dalam menghadapi disrupsi ini? Radita Sonixtus Arauna memberikan lima kiat agar ASN mampu memahami perubahan dan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan tersebut. Pertama, ungkapnya, adalah menjadi profesional (be professional).

“Profesionalisme adalah standar yang paling tinggi, kualitas yang paling bagus dan keahlian yang paling hebat. Profesionalisme ini intangible, tak ternilai. Kita sudah kerja keras, namun terkadang atasan atau orang lain menilai kita masih kurang profesional. Namun kita harus tetap memberikan 100% kemampuan terbaik tanpa instruksi atau pengawasan dari orang lain,” ujar Radita. 

Kedua, lanjut Radita, yaitu dengan tidak pernah berhenti belajar (never stop learning). Kita harus terus mengasah dan menambah skill kita untuk menghadapi disrupsi. Langkah berikutnya yakni collect, connect, context. Radita memaknai ini sebagai pemilahan informasi, di mana informasi yang diterima jangan langsung ditelan mentah-mentah dan jangan langsung di-broadcast. Kita pahami dulu konteks dan kebenarannya. Jika sesuai, baru pesan tersebut bisa kita sebarkan. 

“Keempat, QUEUE atau akronim dari Question Everything, Understand Everything. Pertanyakan semuanya, pahami segalanya. Selalu lihat gambaran besar dari suatu isu atau kasus yang terjadi. Dan yang terakhir, menjadi Sonic (be Sonic). Kita harus cepat dan mengejar ASA, yang merupakan singkatan dari Agile (lincah), Swift (cepat), dan Adapt (adaptasi),” tambah Radita dalam kegiatan yang dilangsungkan secara hybrid di Aula Moedjono Lantai IV BPHN dan aplikasi Zoom ini. 

Revolusi mental dan disrupsi memang saling berkaitan, karena ASN dituntut untuk memiliki perubahan paradigma atau pola pikir yang lebih baik dalam menghadapi era disrupsi teknologi informasi. ASN harus mampu memahami dan beradaptasi dengan cepat agar tetap efektif dan efisien dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Oleh karena itu, revolusi mental menjadi kunci penting dalam menghadapi disrupsi teknologi informasi. (HUMAS BPHN)

Share this Post