Page 42 - Warta BPHN edisi XXIII

Basic HTML Version

42
Warta BPHN
Tahun V Edisi XXIII September - Desember 2018
UU ARBITRASE PERLU DISESUAIKAN DENGAN
KETENTUAN INTERNASIONAL
Jakarta ,
BPHN, Badan Pem­
binaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI bekerja sama dengan
Hong Kong International Arbitration
Centre (HKIAC) menyelenggarakan
workshop bertajuk “Commercial
and Investment Arbitration Training
Workshop” pada Selasa (26/6) di
Aula gedung BPHN Jakarta Timur.
Workshop yang dilaksanakan
selama setengah hari ini te­lah
menghadirkan narasumber di bi­
dang arbitrase, yakni dua Partner
dari firma hukum KarimSyah Law
Firm, Firmansyah dan Iswahjudi A.
Ka­rim. Para ahli dari luar negeri juga
tu­rut dihadirkan, antara lain Partner
dari Allen & Overy, Sheila Ahuja; Part­
ner dari Squite Patton Boggs, Petter
Chow; dan satu orang Inter­na­tio­nal
Arbi­trator and Barrister, Kim Rooney.
Mereka membawakan materi sepu­
tar isu yang seringkali menge­muka
dalam praktik arbitrase.
“Kami menyambut gembira
terselenggaranya kegiatan ini dan
menyampaikan penghargaan ser­
ta terima kasih kepada Hong Kong
International
Arbitration
Centre
(HKIAC) yang telah bekerja sama
dengan
BPHN
untuk
menye­
lenggarakan kegiatan ini,” kata Kepala
BPHN Prof Enny Nurbaningsih, saat
memberikan welcoming speech.
Dalam kesempatan tersebut,
Prof Enny mengatakan bahwa saat
ini Indonesia sedang melakukan
penataan regulasi terhadap undang-
undang-undang/peraturan
yang
ada (existing law). Terkait dengan
penataan regulasi di bidang arbitrase
kita perlu menyesuaikan UU Arbitrase
dengan ketentuan internasional.
Beberapa permasalahan di­
jumpai di lapangan karena per­aturan
perundang-un­dangan Indonesia yang
menyang­kut arbitrase asing (inter­
nasional) tidak mengantisipasi keten­
tuan UNCITRALModel Law. Sehingga
per­aturan perundang-undangan arbi­
trase Indonesia dianggap terlalu
ber­sifat nasional, yang tercermin
an­tara lain dalam ketentuan-keten­
tuan mengenai penggunaan bahasa
Indonesia dalam sidang dan putusan
yang harus mencantumkan irah-irah
‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang
Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami
oleh pihak luar”, lanjut Prof. Enny
Setelah pembukaan acara di­
lan­jutkan pemaparan materi oleh
nara sumber dari Hong Kong dan
Indonesia. Acara di akhiri dengan
sesi tanya jawab. Beberapa peserta
menanyakan batasan public policy
sebagai alasan untuk penolakan dan
pengakuan suatu putusan arbitrase
internasional di Indonesia, kasus
Karaha Bodas, dll. (NNP/Ed. EP)