Page 39 - Warta BPHN edisi XXIII

Basic HTML Version

39
Warta BPHN
Tahun V Edisi XXIII September - Desember 2018
Bidang Analisis dan Evaluasi bidang
Sumber Daya Alam-Lingkungan
Hidup (SDA-LH) BPHN, Aisyah
Lailiyah, mengatakan, rezim hukum
kepailitan di Indonesia memiliki
prinsip yang berbeda mengenai
trustee
yang mana dalam UU
Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dikenal
sebagai kurator.
Dalam konteks
privet trustee
,
di
Indonesia
dikenal
kurator
perseorangan di samping
curator
public
yang diperankan Balai Harta
Peninggalan (BHP), sebagai pengurus
harta pailit
(insolvency practitioners)
.
Pengangkatan kurator perseorangan
ini dilakukan oleh organisasi profesi
kurator dengan syarat dan keahlian
tertetnu. Pengadilan yang dalam
hal ini Pengadilan Niaga kemudian
menunjuk seorang kurator untuk
berperan sebagai Pengurus harta
pailit. Pada saat yang bersamaan,
pengadilan juga menunjuk hakim
pengawas untuk mengawasi kinerja
kurator tersebut.
“Pelajaran yang dapat diambil
dari penerapan hukum kepailitan
yang demikian adalah, bahwa perlu
ada perbaikan pengawasan bagi
profesionalisme kurator itu sendiri,
serta
mekanisme
pengawasan
kinerja kurator oleh hakim pengawas
yang kurang efektif. Terkait dengan
pengawasan, kiranya perlu juga
dilakukan
curator public
, dalam hal
ini BHP,” kata Aisyah menanggapi
paparan para panelis.
BHP, lanjut Aisyah, harus lebih
pro-aktif dalam mengumpulkan
data-data kepailitan dan kinerja
kurator untuk kemudian dijadikan
perimbangan dalam mengeluarkan
kebijakan
pengawasan
bagi
kinerja kurator. Hal-hal yang perlu
diperbaiki, di antaranya standar
umum seorang kurator, kode
etik kurator, pemantauan kinerja
kurator yang diantaranya masalah
batasan
fee
kurator, mekanisme
dan laporan pengembalian harta
pailit yang diperoleh, kepatuhan
dan pemenuhan kode etik profesi
kurator, serta sanksi. Hal ini wajib
diperhatikan karena berpeluang
mempengaruhi kepentingan debitor
dan kreditor. Independensi kurator
yang dianut dalam rezim kepailitan di
Indonesia, juga harus diseimbangkan
melalui prinsip
check and balances
.
Terkait
fee curator
, Erna
Priliasari, Kepala Bagian Humas,
Kerjasama
dan
TU,
BPHN
menyampaikan bahwa di Indonesia
aturan untuk honorarium kurator
didasarkan pada persentase total
aset debitor atau presentasi dari
total jumlah utang sedangka jika
pailit berakhir dengan pemberesan,
imbalan jasa dihitung dari persentase
nilai hasil pemberesan harta pailit di
luar utang. Hal ini berbeda dengan
aturan
fee curator
di negara lain
seperti di Jepang remunerasi
kurator (wali amanat) dibayarkan
berdasarkan keputusan pengadilan
dari uang yang digunakan untuk
membayar dividen kepada kreditur.
Pembayaran di muka setidaknya
JPY200.000. demikian pula di China,
Remunerasi kurator ditetapkan oleh
pengadilan berdasarkan skala yang
ditentukan berdasarkan persentase
dengan mengacu pada aset yang
direalisasikan dalam kasus ini.
Melihat aturan
fee curator
yang
berbeda-beda di setiap negara
kemudian Erna menanyakan apakah
ada aturan standart internasional
untuk menetapkan besarnya
fee
curator
demikian juga persyaratan
untuk diangkat menjadi seorang
kurator.
Disesuaikan dengan
UNCITRAL
Forum panel di hari kedua,
diawali paparan dari Mr. Jae Sung
Lee,
Legal Officer, UNCITRAL
dengan
paparannya berjudul “
The UNCITRAL
Model Law on Secured Transactions
– The Key Principles
”. Berkaitan
dengan paparan tersebut, Kepala
Bagian Humas, Kerjasama dan TU
BPHN, Erna Priliasari mengatakan
bahwa saat ini Indonesia sedang
melakukan
pembahasan
revisi
UU Nomor 37 Tahun 2004 dan UU
Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, sehingga perlu
technical assistance
dari UNCITRAL
dalam rangka memberikan masukan
dari segi perspektif internasional
untuk memperkaya substansi dan
materi muatan yang akan diatur pada
undang-undang tersebut. (EA/NNP)