Page 35 - Warta BPHN edisi XXIII

Basic HTML Version

35
Warta BPHN
Tahun V Edisi XXIII September - Desember 2018
RKUHP telah dilakukan secara
terbuka dan transparan sejak 2015.
“Kalau  proses perancanganya
sejak tahun 2015 sangat terbuka
melibatkan semua pihak, termasuk
ahli hukum pidana, ulama dan tokoh
masyarakat”, ujar Prof. Dr. Enny.
Selanjutnya Prof. Dr. Enny
menjelaskan bahwa pembaharuan
hukum pidana pasca kemerdekaan,
sejatinya sudah dimulai dengan
diundangkannya UU No. 1 Tahun
1946 yang diumumkan tanggal 26
Februari 1946 tentang peraturan
hukum pidana. Untuk mencapai
tujuan nasional melalui hukum
pida­na, secara bertahap telah dilak­
sanakan kebijakan legislasi nasio­
nal. Berbagai Rancangan Undang-
Undang baru atau revisi yang di
dalamnya mengatur aspek pemi­
danaan telah dilakukan.
“Hanya saja problem utama
yang dihadapi bangsa Indonesia
adalah masih belum digantinya
hukum pidana induk (kodifikasi) yang
dimuat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), khususnya
Buku I yang memuat Ketentuan
Umum, sebagai instrumen dan
barometer hukum pidana nasional
Indonesia”, ujar Prof. Enny
Acara dilanjutkan dengan dis­
kusi mengenai perkembangan RUU
KUHP sampai dengan saat ini.
Douglas E. Ramage dari AmCHam
Indonesia menyampaikan kekha­
watiran dengan adanya RUU KUHP
yang baru akan mempengaruhi
masuknya invetasi asing ke Indonesia
karena dalam draft RUU KUHP ada
pasal-pasal spesifik seperti diaturnya
LGBT di dalam rancangan tersebut.
Menanggapi
hal
tersebut,
Kepa­la BPHN mengakui bahwa
pembahasan RKUHP ini telah men­
dapatkan perhatian dari dunia inter­
nasional terutama perma­salahan
LGBT. Namun pada prinsipnya KUHP
tidak akan mengatur permasalahan
privat akan tetapi tetap akan
mengakomodir nila-nilai yang sudah
ada di dalam masyarakat seper­
ti misalnya kasus pencabulan akan
dipidana jika dilakukan di tempat
umum. Selain itu Prof. Dr. Enny
menjelaskan bahwa dalam RUU
KUHP pidana pokok meliputi pidana
penjara, pidana tutupan, pidana
pengawasan, pidana denda, dan
pidana kerja sosial. ** (EA)
TERKAIT REVISI UU NARKOTIKA
,
PROF ENNY: JANGAN SAMPAI OVER KAPASITAS LAPAS,
MENJADI OVER KAPASITAS REHAB
Jakarta-BPHN ,
Kepala
BPHN Prof Enny Nurbaningsih
menjadi salah satu narasumber
dalam Rapat Koordinasi Strategis
tentang Penanganan Pecandu dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika
ke dalam Lembaga Rehabilitasi
yang diselenggarakan oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) di hotel
Best Western Cawang, Selasa (10/7).
Dalam kesempatan tersebut,
Prof Enny memaparkan makalah
yang berjudul “Upaya Mempercepat
Revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika”. Secara umum, Prof
Enny menyampaikan bahwa BPHN
sebagai bagian dari pemerintah
sangat berkomitmen dalam proses
penyusunan
dan
pembahasan
RUU Narkotika yang saat ini masih
berlangsung.
 Revisi terbatas yang dilakukan
dalan UU No. 35 Tahun 2009, lanjut
Prof Enny, diambil sebagai upaya
untuk mengebut pembahasan di
DPR mengingat periode tahun 2019
sudah masuk tahun politik dan
dikhawatirkan proses pembahasan
sampai pengesahan mengalami
keterlambatan.
«Ini juga untuk mengejar target
nawa cita yang ditetapkan oleh
Presiden Joko Widodo,» kata Prof
Enny.
Terkait dengan substansi da­
lam RUU Narkotika, sementara ini
RUU Narkotika mengubah sejumlah
hal termasuk munculnya pengaturan
baru terkait dengan Zat Psikoaktif
Baru (
New Psychoactive Substance
/
NPS). Prof Enny juga memaparkan
bah­wa, RUU Narkotika juga disela­
raskan dengan pengaturan pemida­
naan dalam RUU KUHP.
«Kami selaraskan dengan RUU
KUHP agar nantinya tidak berubah
dari over capacity di Lapas berubah
menjadi over capacity Lembaga
Rehabilitasi,» kata Prof Enny.
Sekedar informasi, Rakor ter­
sebut juga menghadirkan seju­mlah
narasumber, diantaranya pimpinan
tinggi di BNN, Kejaksaan RI,
Mahkamah Agung, serta sejumlah
Lembaga Swadaya Masyarakat.
(NNP)