Optional Protocol (OP) CEDAW, sebagai aturan pelaksana yang melengkapi Konvensi CEDAW telah dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB 6 Oktober 1999. Pada intinya OP CEDAW ini memuat dua masalah pokok, yaitu:

  1. Prosedur komunikasi yang memperbolehkan perempuan untuk mengadu kepada komite CEDAW, setelah melalui seluruh upaya nasional.
  2. Prosedur penyelidikan yang mengizinkan komite CEDAW untuk melakukan penyelidikan atas pelanggaran berat dan sistematis di negara bersangkutan.

 

Indonesia, melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan, telah menandatangani Optional Protocol tersebut pada tahun 2000. Komitmen pemerintah untuk meratifikasi OP CEDAW secara formal telah dituangkan dalam Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009. Dalam Keppres tersebut, OP CEDAW dimasukkan sebagai salah satu instrumen hukum internasional bidang HAM yang diagendakan untuk diratifikasi. Namun hingga saat ini pengesahan OP CEDAW belum terlaksana. Kondisi ini banyak dipertanyakan oleh beberapa kalangan, terutama lembaga-lembaga penggiat kesetaraan hak-hak perempuan.

 

Untuk itu, BPHN, bekerja saman dangan UNFPA merasa perlu untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang membahas hal ini. FGD ini diharapkan dapat melengkapi diskusi-diskusi yang sudah pernah dilakukan oleh pihak lain.

 

Adapun maksudkan diadakan FGD ini adalah untuk mencari jawaban bagi beberapa permasalahan yang dihadapi jika Optional Protokol CEDAW diratifikasi, seperti: dampak positif dan negatif dari ratifikasi, kesiapan infrastruktur agar dapat diantisipasi, baik dari sisi hukum maupun non-hukum, kesesuaiannya dengan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang), serta harmonisasinya dengan asas-asas hukum serta kaitannya dengan kondisi sosiologis serta filosofis di Indonesia. Lebih lanjut, hasil dari FGD ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi penyusunan naskah penjelasan bagi OP CEDAW jika diratifikasi kelak oleh Indonesia.

 

Penyelenggaraan FGD ini pada hakekatnya merupakan salah satu metode yang dapat diambil untuk memperoleh data primer. Karena FGD ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari konvensi CEDAW, baik yang terkait langsung maupun tidak.

 

FGD dilaksanakan dalam dua bagian. Bagian pertama: penyajian makalah dari 4 (empat) orang narasumber, dan bagian kedua: diskusi kelompok.

Empat makalah tersebut adalah:

  1. ”Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya dengan Program Legislasi Nasional” (Oleh Kepala BPHN, Ahmad M. Ramli).
  2. Urgensi Ratifikasi OP Konvensi CEDAW (Tinjauan Filosofis dan Yuridis)”  (Oleh: Deputi Pengarusutamaan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan).
  3. Ratifikasi Optional Protocol CEDAW dan Akselerasinya dengan Hukum Positif di Indonesia” (Oleh: Kapuslitbang Hak-Hak Kelompok Rentan, Ditjen HAM Depkumham, Tasewn Tarib).
  4. Tingkat Kebutuhan (Urgensi) Masyarakat terhadap Pengesahan Optional Protocol CEDAW (Tinjauan Sosial Empiris)”  (Oleh: CWGI, Estu Rakhmi Fanani).

Sementara diskusi kelompok dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok satu membahas topik tentang Untung Rugi Diratifikasinya OP CEDAW Bagi Indonesia, sedangkan kelompok dua membahas topok tentang Implikasi substansi OP CEDAW trerhadap Hukum Nasional. Hasil diskusi dan rekomendasi kelompok tersebut dapat dilihat di bawah ini.