Page 8 - Warta BPHN - Tahun Ke III Edisi XVII April - Juni 2016

Basic HTML Version

denganUUD1945, UUMK sebagai hukumacaraMK.
Sampai akhir tahun 2015 MK telah melaksanakan
tiga wewenang dari
empat wewenang yang
d i m i l i k i n y a , y a i t u
m e n g u j i u n d a n g -
undang terhadap UUD
1945 (
constitutional
r e v i ew
) , memu t u s
p e r s e l i s i h a n h a s i l
pemilu, dan memutus
sengketa kewenangan
lembaga negara yang
diatur oleh UUD. Satu
wewenang MK belum
di laksanakan karena
memang sampai saat ini
belum ada permohonan mengenai hal itu, yaitu
memutus pembubaran partai politik. Seiring dengan
itu kewajiban MK juga belum dilaksanakan karena
saat ini belum ada permohonan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) berisi pendapat lembaga
legislatif ini terkait dengan
impeachment
Presiden
dan/atauWakil Presiden.
Melihat keberadaan MK dan hasil putusan-
putusannya harus diakui banyak hal positif yang
dicapai. MK dalam memutus perkara telah banyak
membawa perubahan fundamental terkait berbagai
aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, MK telah
melindungi hak dasar dalam konstitusi sebagai
kesepakatan bersama (
general agreement
) di mana
warga negara telah diberikan jaminan untuk
mendapatkan perlindungan, pemajuan, penegakan,
serta pemenuhan hak konstitusionalnya.
Kehadiran MK selama hampir 13 Tahun yang telah
membawa banyak dampak positif bagi kehidupan
ketatanegaraan Indonesia bukan berarti tidak
membutuhkan lagi upaya menyempurnakan
pengaturan hukum acaranya maupun ketentuan
lainnya melalui perubahan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi. Beberapa permasalahan
yang perlu diselesaikan melalui perubahan UU MK
diantaranya adalah:
Pertama,
beberapa materi muatan yang
seharusnya menjadi substansi Undang-undang
tetapi diatur dalam internal yaitu PMK. Pasal 24C
ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi,
hukum acara serta ketentuan lainnya tentang MK
diatur dengan undang-undang. Namun pada
kenyataannya, banyak materi terutama hukum acara
yang diatur dalam PMK, bukan di dalam UU MK. Hal
ini tentu sajamembutuhkan penyesuaianmengingat
sesungguhnya keberadaan PMK sebagai peraturan
lembaga kekuatan mengingatnya lebih ke dalam
daripada ke luar.
Kedua,
saat ini beberapa materi muatan
yang substansinya seharusnya menjadi materi
muatan undang-undang karena terkait hukum acara
justru masih menjadi yurisprudensi. sebagai
contohnya adalah di dalam UU MK masih belum
diatur parameter kerugian konstitusional. Di dalam
praktiknya melalui yurisprudensi, MK telah
memberikan pengertian dan batasan tentang
kerugian konstitusional yang timbul karena
8
Warta BPHN : III Edisi XVII April - Juni 2016
"Gerakan Ayo Kerja, Kami PASTI !”