Page 21 - Warta BPHN - Tahun Ke IV Edisi XXI September - Desember 2017

Basic HTML Version

21
Warta BPHN
Tahun IV Edisi XXI September - Desember 2017
pengesahan perjanjian, apakah perlu
naskah akademik?
Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr.
Jimlly Ashidiqie, S.H.,M.H. setuju untuk
dibuat UU baru sekalian menampung
semua aspek yang kira-kira perlu
disempurnakan.
“ Kita harus belajar dari praktik.
Kita perlu mempercepat penataan
hukum Indonesia, olehkarena itu semua
aspek yang perlu disederhanakan
maka perlu disederhanakan misal
tata acara pembentukan peraturan
perundang-undangan”, demikian kata
Prof. Dr. Jimlly Ashidiqie, S.H.,M.H
Lebih lanjut Prof. Dr. Jimlly
Ashidiqie, S.H.,M.H menyampaikan
bahwa Produksi UU di DPR makin
lama makin turun, sampai dengan
tengah tahun ini baru lima yang sudah
diusahakan. Hal ini karena energi di
DPR habis untuk perkara yang lain
bukan untuk kebutuhan regulasi.
Tidak perlu membentuk UU baru
untuk mempraktikan
omnibus law
.
Omnibus law
” yaitu satu UU bisa
mengubah banyak UU sekaligus, baik
UU yang berkaitan secara langsung/
tidak langsung ataupun UU yang tidak
berkaitan sama sekali tetapi dalam
praktik saling berkaitan.
Terkait teori hierarki norma,
referensi kita adalah hans kelsen dan
hans nawiasky. Saat ini banyak yang
salah paham bahwa hans nawiasky
adalah muridnya hans kelsen, salah
itu. Kedua-duany tokoh sezaman.
Hans kelsen tokoh dari Austria dan
hans kelsen dari jerman. Zaman telah
berkembang sehingga kita juga harus
mengembangkan teori-teori yang ada.
(TIS)
HUKUM HARUS IKUT BERPERAN
UNTUK MEWUJUDKAN MASYARAKAT
YANG
MAJU, SEJAHTERA, ADIL,
DAN MANDIRI
Jakarta-BPHN ,
Pusat
Ana­lisis dan Evaluasi Hukum Nasional
menyelenggarakan
Focus Group
Discussion
(FGD) Penyusunan Doku­
men Pembangunan Hukum Nasional
dengan tema, “Peran Hukum dalam
Pembangunan
Nasional
untuk
Mewujudkan Masyarakat yang Maju,
Sejahtera, Adil, dan Mandiri, Selasa
(28/11) bertempat di Ruang Rapat
Lantai II, Gedung BPHN. Hadir sebagai
narasumber pada FGD tersebut Dr.
Maria G. Sutopo, dari Universitas
Pelita Harapan dan Dr. Shidarta dari
Universitas Bina Nusantara.
“Di mana kita berada, ke
mana kita akan pergi,
dan bagaimana kita akan
mencapainya?” ujar Maria G.
Sutopo.
Dalam
beberapa
tahun
terakhir ini, Indonesia memang telah
mencapai kemajuan ekonomi yang
cukup pesat bahkan disinyalir dapat
menjadi salah satu dari lima Negara
dengan ekonomi terbesar di dunia
pada tahun 2030. Semangat untuk
terus meningkatkan pembangunan
ekonomi nasional juga Nampak dari
seruan Presiden untuk membangun
infrastruktur, meningkatkan iklim
kemudahan berusaha di Indonesia dan
peluncuran berbagai paket kebijakan
ekonomi. Namun beberapa data juga
menunjukkan bahwa ketimpangan
pendapatan antar golongan maupun
antar daerah di Indonesia masih
menjadi persoalan. Dalam arus deras
pembangunan ekonomi ini, maka
muncul pertanyaan di manakah
peran hukum untuk memastikan
pembangunan ekonomi yang ada
betul-betul mampu mewujudkan
masyarakat yang maju, sejahtera,
adil, dan mandiri – dan tidak hanya
menguntungkan segelintir orang saja?
Maria Sutopo berpendapat
sudah saatnya para ahli hukum
dan ekonomi berkolaborasi dalam
melakukan pembangunan nasional.
Regulasi seharusnya dapat menjadi
alat efektif untuk turut mewujudkan
kesejahteraan. Dalam hal ini, Maria
menekankan pentingnya menerapkan
mekanisme dampak regulasi yang
terbagi ke dalam tiga elemen yaitu
rancangan pengaturan (
regulatory
design
), kepatuhan terhadap peraturan
(
regulatory compliance
), dan kualitas
implementasi
(
implementation
quality
). Ketiga elemen tersebut perlu
digunakan dalam setiap pembuatan
rancangan regulasi agar setiap regulasi
yang dibuat dapat memberikan
dampak yang optimal dan efisien.
Dengan
ditetapkannya
Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 2017 yang
pada diktum ketujuhnya mewajibkan
menteri dan
kepala
lembaga
untuk melakukan analisa dampak
Liputan