PERLAKUAN HUKUM INDONESIA TERHADAP TENAGA KERJA ASING DAN PERLAKUAN HUKUM NEGARA-NEGARA LAIN TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA[1]

 

Oleh : Sumijati Sahala, SH, M.Hum[2]

 

I.                   Pendahuluan

 

     Menghadapi perkembangan dunia dengan kecanggihan teknologi dan informasi berpengaruh pula disektor ekonomi dunia dengan memasuki era perdagangan bebas.Organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO) yang dibentuk dalam era globalisasi ekonomi menjadikan perdagangan barang dan jasa serta perpindahan manusia menjadi borderless. Era perdagangan bebas melahirkan blok-blok perdagangan pada tingkat regional, seperti Asean Free Trade Area (AFTA) wilayah perdagangan Asean termasuk masalah globalisasi tenaga kerja.

     Indonesia adalah salah satu negara yang turut dalam arus globalisasi ekonomi dalam perdagangan barang dan jasa serta terikat dalam GATT yang telah disepakati dalam WTO. Oleh karenanya sebagai Negara anggota sudah terikat secara hukum dan harus melaksanakan komitmen liberalisasi yang telah disepakati. Globalisasi ekonomi telah diprogramkan dalam agenda pembangunan nasional dengan menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat dalam rencana  perbaikan iklim ketenagakerjaan.

     Agenda tersebut masuk dalam Bagian IV Bab 23 Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang ;”Rencana Pembangunan  Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009” (RPJMN), yaitu : “Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan”. Penciptaan lapangan kerja adalah sasaran pokok pemerintah dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun disisi lain pemerintah juga tidak dapat menutup mata, dimana situasi dan kondisi Indonesia masih belum dapat menciptakan lapangan kerja bagi sebagian dari pencari kerja. Tingkat pengangguran terbuka sejak tahun 1999 terdapat 6,4 % (sekitar 6 juta orang) , terus meningkat menjadi  9,5 % pada tahun 2003 (sekitar 9,5 juta) orang, sedangkan tingkat penganggur terbuka terbesar terdapat pada  kelompok usia muda (15-19 tahun) atau 36,7 % pada tahun 2003. Tingkat pendidikan tertinggi adalah lulusan SMU (16,9 %),  perguruan tinggi 9,1 %.[3] Indonesia tidak dapat menghindari arus perdagangan global/bebas yang diprakarsai oleh organisasi dunia World Trade Organization (WTO), yang telah memberikan era baru bagi tenaga kerja untuk mencari pekerjaan di negara lain. Negara tujuan wajib memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kerja asing yang bekerja di negaranya dan begitu pula sebaliknya. Dalam kesepakatan WTO dikenal adanya prinsip National Policy Objective artinya dalam pasar bebas/liberalisasi tetap berdasarkan pada aturan dari Negara yang bersangkutan, bahkan bagi Negara berkemnbang diterapkan asas flexibelitas.[4] Oleh karenanya perlakuan hukum terhadap TKA dimungkinkan akan berbeda di negara yang mempekerjakan mereka berdasarkan hukum nasional mereka.

     Disatu sisi perdagangan global diharapkan akan lebih meningkatkan ekonomi nasional dengan terbukanya iklim investasi dan informasi yang juga melibatkan  tenaga kerja sebagai salah satu pilar dalam pembangunan.  Namun disisi lain tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang proffessional, siap masuk dalam pasaran kerja global yang sangat kompetitif.

     Peluang kesempatan kerja bagi tenaga kerja seperti yang menjadi tujuan pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja akan berhasil apabila pemerintah sebagai pembuat kebijakan  dapat bekerja secara sinergis dengan sesama instansi pemerintah lainnya yang terkait dan unsur swasta  untuk melaksanakan program-program yang telah diarahkan dalam RPJMN tahun 2004-2009. Lebih jauh Sumarprihatiningrum (mantan pejabat yang menangani perizinan penggunaan TKA pada Depnakertrans tahun 1989-2005) juga menjelaskan bagaimana program untuk mendapat peluang kesempatan kerja, antara lain : alih pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan 1. kebutuhan pasar kerja sesuai dengan standar, 2 TKI yang ditunjuk sebagai pendamping tenaga kerja asing mempunyai pendidikan dan ketrampilan minimal setara dan  ke 3. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan TKA yang dipekerjakan.

     Bila Indonesia berhasil dalam memberi peluang pada TKI untuk berkompetisi dalam pasaran kerja dunia dengan bargaining power yang tinggi, maka tidak ayal hal tersebut akan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

     Dengan adanya kualifikasi negara-negara didunia, dimana satu negara perekonomiannya akan berbeda dengan negara lainnya, negara maju, negara berkembang yang pada umumnya adalah negara miskin, negara industri baru akan saling membutuhkan tenaga kerja untuk membangun negaranya masing-masing.TKA yang dibutuhkan sangat bervariasi tergantung dari permintaan, seperti negara yang sedang membangun untuk Negara industri baru seperti Malaysia, misalnya membutuhkan TKA yang professional dan ahli dari negara maju, serta  TKA yang unskilled (informal), yang disebut dengan 3-D jobs (Dirty,Demanding and Dangerous). Misalnya kuli bangunan, tenaga kerja diperkebunan, pembantu rumah tangga /PRT dan tenaga informal lainnya yang mendapat pasokan tenaga kerja dari negara pengirim dengan upah yang rendah bahkan mendapat perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. 

     Dalam RPJMN 2004-2009 pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari 700 orang menjadi satu juta orang pertahun hingga 2009 (Kompas, 9 Juni 2007). Tapi TKI yang diekspor diharapkan mempunyai keahlian dan terdidik, misalnya dibidang perminyakan, medis dan teknologi informasi, sehingga unskilled labour akan digantikan oleh TKI yang proffesional. Indonesia sebagai salah satu negara pemasok tenaga kerja ke luar negri terutama TKI informal (tenaga kerja wanita), bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hampir 100 % TKI yang bekerja di Singapura adalah TKW, 93 % di Arab Saudi dan 94 % di Hongkong (Kompas 9 Juni 2007). Sedangkan TKI pria mendominasi pengiriman kenegara-negara maju anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), seperti Jepang,Korsel dan Taiwan.   Dalam makalah yang ditugaskan kepada saya, saya akan mencoba memberi gambaran tentang perlakuan hukum Indonesia terhadap TKA di 3 wilayah Indonesia, yaitu Batam, Bekasi dan Jawa Timur dan bagaimana perlakuan hukum negara tetangga Malaysia terhadap TKI.

 

II. Tenaga Kerja Asing di Indonesia

 

1.     Peraturan Perundang-undangan yang mengatur TKA .

 

Pengaturan tentang Tenaga Kerja diatur dalam Undang-Undang Tenaga kerja UU No 25 Tahun 1997  kemudian dicabut dan diganti dengan UU N0 13 Tahun 2003 tentang ”Ketenagakerjaan”. Khusus mengenai TKA semula diatur dalam UU No. 3 Tahun 1958 tentang : ”Penempatan Tenaga Kerja Asing”, kemudian UU tsb dicabut dengan berlakunya UU No. 13 Tahun 2003. Mengenai TKA diatur dalam pasal 42 smpai dengan pasal 49 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 42 (1) : Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut mengisyaratkan agar dalam mempekerjakan TKA tidak menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap masalah keamanan (security) dan berkurangnya kesempatan kerja bagi TKI. Sebelum UUK  diberlakukan Instruksi Presiden No 10 Tahun 1968 dimana pengusaha dalam mempekerjakan warga negara asing yang bekerja di Indonesia termasuk pengusaha asing wajib memiliki izin kerja tertulis dari Menteri. TKA dapat melakukan pekerjaan bebas (Vrije beroepen), seperti pengacara, dokter, akuntan dll.

     Siapa yang dimaksud dengan tenaga kerja asing (TKA) ?

Secara umum pengertian TKA adalah : orang asing yang bukan warga negara Indonesia, karena kemampuan dan kualifikasi yang dimilikinya sangat dibutuhkan untuk melakukan kegiatan dan atau pekerjaan di dalam negri guna memenuhi kebutuhan masyarakat.[5] Sedangkan yang dimaksud dengan TKA menurut Keppres No 75 Tahun 1995 tentang : ”Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pendatang”  adalah :

·       Tenaga kerja warga negara asing yang mempunyai visa tinggal terbatas atau izin tinggal terbatas (KITAS)

·       Tenaga kerja warga negara asing yang mempunyai izin tinggal tetap (KITAP)

 

     Pelaksanaan dari pengaturan tentang TKA (pasal 42 sampai dengan pasal 49 UU No 13 Tahun 2003) dalam mempekerjakan TKA, adalah:

·       Kepmenakertrans No 20/MEN/III/2004 tentang Jabatan tertentu dan dalam waktu tertentu (pasal 42 ayat 5);

·       Kepmenakertrans Nomor 228/Men/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan  TKA (pasal 43 ayat 4)

·        KepMen tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (pasal 44 ayat 2)

·       KepMen tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di jabat oleh TKA (pasal 46 ayat 2)

·       Kepmenakertrans Nomor 223/Men/2003 tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan Yang Dibebaskan dari Pembayaran Kompensasi (Pasal 47 ayat 3)

·       Peraturan Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4)

·       Keputusan Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping (Pasal 49)

 

         

2.     Perlakuan Hukum Indonesia terhadap TKA.

 

           Pada prinsipnya phylosofi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia adalah mereka yang dibutuhkan dalam 2 hal, yakni mereka (TKA) yang membawa modal (sebagai investor) dan/atau membawa skill dalam rangka transfer of knowledge atau transfer of knowhow. Selain karena dengan alasan kedua hal sebagaimana tersebut, pada hakekatnya tidak diperkenankan menggunakan TKA dan harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja dari Indonesia (TKI). Penggunaan Tenaga Kerja wajib mengutamakan penggunaan TKI di semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia daripada Warga Negara Asing Pendatang (TKA). Dikecualikan apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi oleh TKI, pengguna TKA, dapat menggunakan TKA sampai batas waktu tertentu (Pasal 46), agar sampai batas waktu tertentu tenaga kerja Indonesia sudah mampu mengadop skill TKA yang bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan TKA. Dengan demikian penggunaan TKA dilaksanakan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.

          Tenaga Kerja Asing dapat bekerja di wilayah Republik Indonesia atas dasar permintaan pengguna atau sponsor yang telah mendapat izin dari instansi yang berwenang sesuai dengan bidang kegiatannya, karena Indonesia menganut azas sponsorship dan TKA hanya dapat bekerja dalam hubungan kerja (Pasal 50 s/d 66 UU N0 13 Tahun 2003). Proses “Indonesianisasi” jabatan-jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing senantiasa dilakukan dengan mensyaratkan adanya tenaga pendamping warga Negara Indonesia bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dan mewajibkan melakukan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia, yang secara keseluruhan dimaksudkan dalam rangka “transfer of knowledge” dan “transfer of learning” dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indoneisa. Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui  mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-228/Men/2003 tentang Tata Cara Pengesahan RPTKA, dan meminta izin penggunaan tenaga kerja asing (IMTA) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-20/Men/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh IMTA.

          Sebelum diberlakukannya Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, seksi penempatan kerja dan tenaga kerja asing ( salah satu struktur Dinas Ketangakerjaan Kota Batam) memiliki tugas dan wewenang untuk memproses pemberian izin tenaga kerja asing di Kota Batam.[6] Akan tetapi setelah diberlakukannya undang-undang tersebut, tugas dan kewenangan seksi pemberian izin dialihkan ke Pusat.

Ada sekitar 83 perusahaan di kota Batam, baik PMDN maupun PMA, sedangkan untuk penanaman modal asingnya sendiri ada 76 buah perusahaan. Tenaga Kerja asing yang bekerja di Batam + 1400 orang, pada waktu penelitian belum ada Perda yang mengatur TKA. Hal tersebut disebabkan Kota Batam masih dalam masa transisi dimana pemerintahan masih dilaksanakan bersama oleh Pemerintah daerah dan Otorita Batam.

Dapat ditambahkan bahwa, Batam baru melaksanakan UUK khususnya Bab VIII Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing pada bulan Agustus 2005, padahal Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan sejak tanggal 25 Maret 2003.

Dengan diberlakukannya Keputusan  Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005 oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, maka   SK ini mendapat tanggapan keras dari kalangan pengusaha. Salah satunya adalah Himpunan Kawasan Industri Indonesia khususnya Kantor Wilayah I, (Korwil I HKI) yang meliputi Sumatera dan Kepulauan Riau.

Kepmenakertrans No B 388/MEN/TKDN/VI/2005 sebagai suatu kebijakan dianggap bertentangan dengan semangat Otonomi Daerah, di mana selama ini penyelenggaraan izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA) mengacu kepada Kepmenaker RI Nomor : Kep.207/MEN/92 tertanggal 13 Juni 1992 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja Kota Batam dan Wakil Depnaker pada Kantor Tim Koordinasi Pembangunan Propinsi Riau (KTKP2R). Hal tsb sesungguhnya sudah sesuai dengan semangat otonomi daerah serta tuntutan pelayanan publik yang lebih cepat. Keberatan lain yang menjadi point penting adalah biaya yang cukup besar untuk mengurus pengajuan dan izin penggunaan tenaga kerja asing.

          Lain halnya di Jawa Timur.Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing menimbulkan permasalahan baru yaitu sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD).Karena di dalam kaitannya dengan dana kompensasi, diketahui bahwa di Provinsi Jawa Timur terdapat sedikitnya 1400 tenaga kerja asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota. Berkaitan dengan keberadaan tenaga kerja asing tersebut maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuat Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja Perpanjangan Sementara dan Mendesak Bagi tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; yang substansinya memberikan pembebanan kepada pengguna tenaga kerja asing di Jawa Timur untuk membayar dana kompensasi kepada pemerintah daerah provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut dibagi secara proporsional kepada setiap Kabupaten dan Kota yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Timur.

Sedangkan di Kabupaten Bekasi yang juga merupakan salah satu daerah penelitian dan merupakan wilayah yang diperuntukkan bagi kawasan industri. Perusahaan-perusahaan industri banyak mempekerjakan tenaga kerja asing. Sedikitnya terdapat 1100 tenaga kerja asing, dari jumlah tersebut sebagian besar berasal dari Korea dan Jepang. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 19 Tahun 2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, yang mewajibkan tenaga kerja asing menyetor uang sebesar US$100 per bulan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Akan tetapi, keberadaan tenaga kerja asing di Bekasi belum memberikan keuntungan bagi pembangunan di wilayah kerjanya. Salah satu alasannya adalah bahwa pemasukan pajak tenaga kerja asing sebesar Rp.23 milyar, wajib disetor ke Pemerintah Pusat. Dana tersebut merupakan pendapatan non pajak dan merupakan hak pemerintah pusat, karena dana yang diterima bersumber dari dana pengembangan ketrampilan kerja (DPKK).DPKK merupakan sumber pendapatan asli daerah , yang penggunaannya untuk pembangunan daerahnya (PAD). Namun Departemen Keuangan mengatakan bahwa DPKK adalah pendapatan non pajak dan harus disetor ke Pemerintah Pusat. Hal tersebut dilandasi oleh Pasal 6 PERMENAKER Nomor 20 Tahun 2004 dimana dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing di setor ke rekening Dana Pengembangan Keahlian dan Ketrampilan (DPKK) pada bank yang ditunjuk Menteri.

 

 

III.    Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA)

Pemberian izn pengunaan tenaga kerja asing dimaksudkan agar pengguna tenaga kerja asing dilaksanakan secara selektif dalam rangka pemberdayaan tenaga kerja Indonesia secara optimal. Untuk menegakkan ketentuan di dalam perizinan yang telah diatur sangat diperlukan pengawasan.

Untuk memberikan izin dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, diperlukan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku,  yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 20 tahun 2004 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagai pelaksanaan dari Pasal 42 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003.

Izin Kerja pada prinsipnya ialah izin yang diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk olehnya kepada majikan atau perusahaan tertentu untuk mempekerjakan tenaga asing di Indonesia dengan menerima upah atau tidak selama waktu tertentu.

Ada 2 (dua) macam izin, yaitu :

1.                  Izin mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing;

2.                  Izin melakukan pekerjaan bebas

 

Menurut jenisnya ada 3 (tiga) macam izin kerja tenaga kerja asing, yaitu :

1.                  Izin kerja tenaga asing (baru);

2.                  Izin kerja tenaga asing (perpanjangan).

3.                  Izin kerja tenaga asing (pindah jabatan)

 

Khusus bagi pemohon untuk mendatangkan dan mempekerjakan artis warga negara asing disponsori oleh Badan-badan empresariat, dalam hal-hal tertentu hotel-hotel yang bertarap internasional dapat mengajukan sendiri tanpa melalui empresariat. Pengguna TKA dapat mempekerjakan TKA sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke berdasarkan KEPMEN Nomor KEP-21/Men/III/2004.

Dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, IKTA diminta ke Ketua BKPM (Kep-105/Men/1977 tentang : ”Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi TKA” dan Kep-105/MEN/1985 tentang : ”Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan RPTKA dalam rangka Penanaman Modal” kemudian sejak 1 Juli 2000 dicabut dengan Kep.03/Men/1990, selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk (Pasal  42 ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).

Permasalahan timbul dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 Tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Kemudian UU No 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun pelaksanaan pengajuan izin untuk mempekerjakan tenaga kerja asing tetap berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Kep.Menaker Nomor 20/Men/III/2004 karena Menteri Dalam Negeri tidak berwenang untuk memberi izin mempekerjakan tenaga kerja asing. Kewenangan pemerintah daerah hanya bagaimana penempatan dan pendayagunaan tenaga kerja asing, perizinan dan pengawasan. Perizinan dalam hal ini adalah bila memperpanjang izin penggunaan tenaga kerja asing (IMTA), serta memeriksa kelengkapan perizinan. Hal tersebut sesuai pula dengan prinsip selektivitas (selective policy) dan satu pintu (one gate policy) agar kebijakan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masalah keamanan (security) dan peluang kesempatan kerja bagi TKI.

IV.     Pengawasan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 176 s/d 181 mengatur tentang pengawasan tenaga kerja asing, artinya undang-undang masih memungkinkan menggunakan tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia dengan syarat-syarat, tata cara perizinan, perencanaan, pengendalian dan pengawasannya. Bentuk pengawasan terhadap perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja asing dilakukan oleh Ditjen Binawas, Departemen Tenaga Kerja selaku pemberi izin .

 Untuk pengawasan terhadap tenaga kerja asing merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Hukum Dan HAM, yaitu yang bertugas melakukan pengawasan saat mereka masuk (pasal 48) dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama berada di wilayah Indonesia.(pasal 49 s/d 53) UU No 9 Tahun 1992. Untuk mempekerjakan tenaga kerja ahli, pengawasan berada pada departemen teknis sesuai dengan keahliannya seperti Konsultan Hukum Asing ada pada Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM. Bentuk pengawasan adalah terhadap Jasa Konsultan Hukum (Keputusan Menteri Kehakiman Nomor JS.13/24/7, tanggal 6 Juli 1974).

Pada saat itu terdapat pembatasan yang sangat ketat bagi ahli hukum asing  untuk menjadi konsultan hukum di Indonesia. Konsultan hukum hanya boleh menjadi Penasehat Hukum pada kantor Konsultan Hukum Indonesia. Mereka berkedudukan sebagai karyawan dan hanya boleh memberi nasehat bidang hukum negara asalnya atau Hukum Internasional. Oleh karena itu mereka dilarang untuk mencampuri Hukum Indonesia baik di luar maupun di muka pengadilan.

Perwakilan atau cabang usaha hukum asing pada saat itu dilarang berusaha di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Disamping itu konsultan hukum asing bekerja pada kantor konsultan hukum Indonesia tidak boleh merupakan partner kantor konsultan hukum asing di luar negeri atau mempunyai jabatan rangkap.

Untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dan instansi pemerintah dalam rangka menunjang kegiatan  di bidang perdagangan internasional, penanaman modal, perbankan, lembaga keuangan non bank, hak milik intelektual, dan berbagai bidang hukum yang terkait lainnya, pemerintah masih memperbolehkan para ahli hukum warga negara asing bekerja di Indonesia.Untuk itu pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M-1.HT.04.02 Tahun 1991 tentang Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing Oleh Kantor Konsultan Hukum Indonesia, yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.HT,04.02 Tahun 1997 perihal yang sama. Dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Kantor Konsultan Hukum adalah suatu persekutuan perdata (maatschap) yang didirikan oleh para ahli hukum warga negara Indonesia yang mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat di luar pengadilan (non litigasi). Kantor Konsultan Hukum Indonesia dapat mempekerjakan ahli hukum warga negara asing sebagai karyawan sesudah mendapat izin bekerja dari Menteri Tenaga Kerja setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman. Untuk mendapatkan persetujuan tersebut, kantor Konsultan Hukum mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman.

 

V. Perlakuan Hukum TKA dari negara Malaysia.

          Malaysia merupakan negara industri baru yang sangat tergantung dari buruh migran yang merekrut lebih dari 2 juta TKA dari 12 negara.

. Pada tahun 2003 Pemerintah Malaysia merekrut TKA dari 12 negara termasuk India dan China. Hal tersebut dilakukan karena berkaitan dengan investasi dan perdagangan yang sedang booming berkenaan dengan pembangunan menara kembar Petronas tertinggi didunia dan airport yang modern di Kuala Lumpur. Tahun 2002 Malaysia mengamandemen Undang-undang Imigrasi tahun 1958 dan mulai berlaku sejak September 2002.[7] UU yang baru diamademen tsb  memberlakukan sanksi kepada buruh migran yang illegal/undocument, agen dan majikan. Sanksi dapat berupa hukuman penjara, denda dan hukuman cambuk serta deportasi. Setelah gelombang deportasi dilaksanakan sejak tahun 2003, termasuk TKI, yang menyengsarakan TKI terutama terhadap kaum perempuan dan anak di Nunukan. Tahun ini sebanyak 800.000 TKI akan di deportasi kembali dari  Malaysia dan dari Arab Saudi 40.000 TKI .(Kompas 9 Juni 2007).

          Sebagai perbandingan perlakuan hukum terhadap TKA di suatu negara yaitu di Malaysia dengan case study terhadap 2 orang TKA asal Pakistan, Mohammad Zaki Muhammad Zaheer yang bekerja berdasarkan hukum ketenagakerjaan Malaysia (the Industrial Relation Department) pada bulan April 1998 untuk pemutusan hubungan kerja (wrongful dismissal) yang tidak adil. Lebih dari 2 tahun diadakan rekonsiliasi, tapi employer tidak pernah hadir dalam rekonsiliasi tersebut. Akhirnya perkara tersebut diteruskan ke  kantor Pusat (Industrial Relation Head Quarters) dan dilanjutkan ke Menteri Sumber Daya Manusia (Human Resource Ministry) yang memutuskan agar disidang di Pengadilan Industri (Industrial Court)

          Tapi dalam proses Pengadilan, Employer tidak pernah hadir. Yang hadir hanya istri employer saja yang mewakili perusahaan, sehingga hakim dinyatakan bersalah tidak dapat menghadirkan employer. Employer naik banding dan memutuskan bahwa pengadilan wajib mendengar keterangan employer dan Zaki serta Zaheer. Employer kembali naik banding ke Pengadilan Tinggi yang memutuskan bahwa Hakim bersalah dan memerintahkan untuk persidangan ulang (retrial). Setelah menunggu 4 tahun lamanya, dimana kasusnya harus di data ulang (refile), Zaki dan Zaheer tidak dapat mencari alternatif dalam kasus ketenagakerjaan mereka dan Departemen Imigrasi menolak untuk memberikan mereka visa, karena sudah overstay. Penolakan visa dan hak untuk bekerja tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Malaysia. TKA tidak dapat menyelesaikan kasusnya ke Pengadilan dengan berbagai cara yang sangat merugikan TKA. Pemerintah tidak memberikan sanksi bagi employer yang tidak melakukan kewajibannya terhadap TKA bahkan cenderung membela employer.Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap TKA adalah bila TKA dapat mengakses ke pengadilan bila hak hak nya sebagai tenaga kerja dilanggar.    

          Dari case study tersebut nampak bahwa kebijaksanaan dan sistem keberpihakan terhadap pengusaha serta pelanggengan dari sistem kerja yang eksploitatif masih diterapkan terhadap migrant workers. Perlakuan hukum terhadap TKA tidak diselesaikan berdasarkan  hukum ketenagakerjaan (Hukum publik) melainkan menggunakan Immigration Act Tahun 2002. Sedang bentuk pengawasannya diutamakan dengan bentuk represif .

 

VI. Penutup

 

          Penggunaan dan penempatan tenaga kerja asing memerlukan turut campur Pemerintah dengan memperketat pengawasan dan membatasi serta menutup jabatan-jabatan tertentu bagi tenaga kerja asing dengan menyediakan jabatan-jabatan tersebut bagi tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan RPJMN tahun 2004-2009 yang bertujuan memperbaiki klim ketenaga kerjaan untuk kesejahteraan rakyat, disamping menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi liberalisasi global terutama dibidang ketenagakerjaan.     

          Untuk menghadapi pengangguran terbuka yang dihadapi pemerintah yang naik secara signifikan sejak tahun 1999,pemerintah wajib menyiapkan TKI yang terdidik dan terlatih untuk ditempatkan di negara penerima dan perlindungan yang sesuai dengan aturan yang telah disepakati dalam GATT. Dalam upaya globalisasi ekonomi pemerintah wajib mengutamakan tenaga kerja Indonesia untuk masuk dalam pasaran kerja dalam negeri sesuai dengan kebijakan yang telah diambil, dan menggantikan TKI yang unskilled menjadi TKI yang proffessional siap pakai.

 

 

 

 

Jakarta 30 Juni 2007.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.     Hasil Penelitian tentang ”Permasalahan Hukum Tenaga Kerja Asing Di Indonesia”, diketuai oleh Hesty Hastuti,SH,MH, BPHN- Departemen Hukum Dan HAM tahun 2005

 

2.     C. Sumarprihatiningrum,M.Si : ”Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia”, diterbitkan oleh Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), Jakarta 2006.

 

3.     ”Migrant Workers Acces Denied”, Published by: Tenaganita-Malaysia

 

4.     Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang : ”Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Percetakan CV Citra Utama, Jakarta – 2005.

 

5.     Undang-undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang ”Ketagakerjaan”, Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, TLN RI Nomor 4279.

 

 

___________________________



[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Tentang “Penempatan Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, tanggal 4-5 Juli 2007 di Hotel Shangri-La Surabaya.

[2] Peneliti Hukum pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI

[3] Perbaikan iklim Ketenagakerjaan (Bab 23) dari PerPres No. 27 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Menengah Nasional Tahun 2004-2005.

[4] Sumarprihatiningrum dalam “Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, hal. 56.

[5] Ibid  hal 2

[6] Hasil Penelitian BPHN tentang TKA di Batam,Bekasi dan Jawa Timur pada tahun 2005. Dipilihnya ketiga wilayah tersebut karena daerah penelitian merupakan daerah Kawasan industri yang sangat strategis dan banyak mempekerjakan TKA.

[7] Undang-undang Imigrasi Malaysia telah diamademen pada tahun 2002 dikutip dari “Migrant Workers, Access Denied”dipublikasikan oleh Tenaganita, sebuah LSM/NGO di Malaysia yang melakukan promosi dan perlindungan kepada semua buruh baik buruh migran maupun buruh domestik.