PERLAKUAN HUKUM
Oleh : Sumijati Sahala, SH, M.Hum[2]
I.
Pendahuluan
Menghadapi perkembangan
dunia dengan kecanggihan teknologi dan informasi berpengaruh pula disektor
ekonomi dunia dengan memasuki era perdagangan bebas.Organisasi perdagangan dunia
(World Trade Organization/WTO) yang dibentuk dalam era globalisasi ekonomi
menjadikan perdagangan barang dan jasa serta perpindahan manusia menjadi
borderless. Era perdagangan bebas melahirkan blok-blok perdagangan pada
tingkat regional, seperti Asean Free Trade Area (AFTA) wilayah perdagangan
Asean termasuk masalah globalisasi
tenaga kerja.
Agenda
tersebut masuk dalam Bagian IV Bab 23 Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang ;”Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009”
(RPJMN), yaitu : “Perbaikan Iklim
Ketenagakerjaan”. Penciptaan lapangan kerja adalah
sasaran pokok pemerintah dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun disisi lain pemerintah juga tidak dapat menutup
mata, dimana situasi dan kondisi
Disatu
sisi perdagangan global diharapkan akan lebih meningkatkan ekonomi nasional
dengan terbukanya iklim investasi dan informasi yang juga melibatkan tenaga kerja sebagai salah satu pilar
dalam pembangunan. Namun disisi lain tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang
proffessional, siap masuk dalam pasaran kerja global yang sangat kompetitif.
Peluang kesempatan kerja bagi tenaga kerja
seperti yang menjadi tujuan pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja akan
berhasil apabila pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat bekerja secara sinergis dengan
sesama instansi pemerintah lainnya yang terkait dan unsur swasta untuk melaksanakan program-program yang telah
diarahkan dalam RPJMN tahun 2004-2009. Lebih jauh Sumarprihatiningrum (mantan
pejabat yang menangani perizinan penggunaan TKA pada Depnakertrans tahun
1989-2005) juga menjelaskan bagaimana program untuk mendapat peluang kesempatan
kerja, antara lain : alih pengetahuan dan ketrampilan
sesuai dengan 1. kebutuhan
pasar kerja sesuai dengan standar, 2
TKI yang ditunjuk sebagai pendamping tenaga kerja asing mempunyai pendidikan
dan ketrampilan minimal setara dan ke 3. Memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi dengan TKA yang dipekerjakan.
Bila
Dengan adanya kualifikasi negara-negara
didunia, dimana satu negara perekonomiannya akan berbeda dengan negara lainnya,
negara maju, negara berkembang yang pada umumnya adalah negara miskin, negara
industri baru akan saling membutuhkan tenaga kerja untuk membangun negaranya
masing-masing.TKA yang dibutuhkan sangat bervariasi tergantung dari permintaan,
seperti negara yang sedang membangun untuk Negara industri baru seperti
Malaysia, misalnya membutuhkan TKA yang professional dan ahli dari negara maju,
serta TKA yang unskilled (informal),
yang disebut dengan 3-D jobs (Dirty,Demanding and Dangerous). Misalnya kuli bangunan, tenaga kerja diperkebunan, pembantu rumah
tangga /PRT dan tenaga informal lainnya yang mendapat pasokan tenaga kerja dari
negara pengirim dengan upah yang rendah bahkan mendapat perlakuan yang
merendahkan harkat dan martabat manusia.
Dalam
RPJMN 2004-2009 pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari 700 orang
menjadi satu juta orang pertahun hingga 2009 (Kompas, 9 Juni 2007). Tapi TKI
yang diekspor diharapkan mempunyai keahlian dan terdidik, misalnya dibidang
perminyakan, medis dan teknologi informasi, sehingga unskilled labour akan
digantikan oleh TKI yang proffesional. Indonesia sebagai salah satu negara
pemasok tenaga kerja ke luar negri terutama TKI informal (tenaga kerja wanita),
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hampir 100 % TKI yang bekerja di Singapura
adalah TKW, 93 % di Arab Saudi dan 94 % di Hongkong (Kompas 9 Juni 2007).
Sedangkan TKI pria mendominasi pengiriman kenegara-negara maju anggota
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), seperti Jepang,Korsel dan
Taiwan. Dalam makalah yang ditugaskan
kepada saya, saya akan mencoba memberi gambaran tentang perlakuan hukum
Indonesia terhadap TKA di 3 wilayah Indonesia, yaitu Batam, Bekasi dan Jawa
Timur dan bagaimana perlakuan hukum negara tetangga Malaysia terhadap TKI.
II.
Tenaga Kerja Asing di Indonesia
1.
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur TKA .
Pengaturan tentang
Tenaga Kerja diatur dalam Undang-Undang Tenaga kerja UU No 25 Tahun 1997 kemudian dicabut dan diganti dengan UU N0 13
Tahun 2003 tentang ”Ketenagakerjaan”. Khusus mengenai TKA semula diatur dalam UU No. 3 Tahun 1958 tentang : ”Penempatan Tenaga Kerja Asing”,
kemudian UU tsb dicabut dengan berlakunya UU No. 13 Tahun 2003. Mengenai TKA diatur dalam pasal 42 smpai dengan
pasal 49 UU No. 13 Tahun 2003. Pasal 42 (1) : Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut mengisyaratkan agar dalam
mempekerjakan TKA tidak menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap masalah
keamanan (security) dan berkurangnya kesempatan kerja bagi TKI. Sebelum UUK diberlakukan Instruksi Presiden No 10 Tahun
1968 dimana pengusaha dalam
mempekerjakan warga negara asing yang bekerja di Indonesia termasuk pengusaha
asing wajib memiliki izin kerja tertulis dari Menteri. TKA dapat melakukan
pekerjaan bebas (Vrije beroepen), seperti pengacara, dokter, akuntan dll.
Siapa yang
dimaksud dengan tenaga kerja asing (TKA) ?
Secara umum pengertian TKA adalah : orang asing yang
bukan warga negara Indonesia, karena kemampuan dan kualifikasi yang dimilikinya
sangat dibutuhkan untuk melakukan kegiatan dan atau pekerjaan di dalam negri
guna memenuhi kebutuhan masyarakat.[5]
Sedangkan yang dimaksud dengan TKA menurut Keppres No 75 Tahun 1995 tentang :
”Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pendatang” adalah :
·
Tenaga
kerja warga negara asing yang mempunyai visa tinggal terbatas atau izin tinggal
terbatas (KITAS)
·
Tenaga
kerja warga negara asing yang mempunyai izin tinggal tetap (KITAP)
Pelaksanaan
dari pengaturan tentang TKA (pasal 42 sampai dengan pasal 49 UU No 13 Tahun
2003) dalam mempekerjakan TKA, adalah:
·
Kepmenakertrans No 20/MEN/III/2004 tentang Jabatan
tertentu dan dalam waktu tertentu (pasal 42 ayat 5);
·
Kepmenakertrans Nomor 228/Men/2003 tentang Tata Cara
Pengesahan Rencana Penggunaan TKA (pasal
43 ayat 4)
·
KepMen tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (pasal 44
ayat 2)
·
KepMen
tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang
Dilarang di jabat oleh TKA (pasal 46 ayat 2)
·
Kepmenakertrans Nomor 223/Men/2003 tentang
Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan Yang Dibebaskan dari Pembayaran
Kompensasi (Pasal 47 ayat 3)
·
Peraturan
Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi
dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4)
·
Keputusan
Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping (Pasal
49)
2.
Perlakuan Hukum Indonesia terhadap TKA.
Pada prinsipnya phylosofi penggunaan tenaga
kerja asing (TKA) di Indonesia adalah mereka yang dibutuhkan dalam 2 hal, yakni
mereka (TKA) yang membawa modal
(sebagai investor) dan/atau membawa skill
dalam rangka transfer of knowledge atau
transfer of knowhow. Selain karena dengan alasan
kedua hal sebagaimana tersebut, pada hakekatnya tidak diperkenankan menggunakan
TKA dan harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja dari Indonesia (TKI). Penggunaan Tenaga Kerja wajib
mengutamakan penggunaan TKI di semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia daripada
Warga Negara Asing Pendatang (TKA). Dikecualikan apabila bidang dan jenis pekerjaan yang
tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi oleh TKI, pengguna TKA, dapat
menggunakan TKA sampai batas waktu tertentu (Pasal 46), agar sampai batas waktu
tertentu tenaga kerja Indonesia sudah mampu mengadop skill TKA yang bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa
harus melibatkan TKA. Dengan demikian penggunaan TKA dilaksanakan secara
selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
Tenaga
Kerja Asing dapat bekerja di wilayah Republik Indonesia atas dasar permintaan
pengguna atau sponsor yang telah
mendapat izin dari instansi yang berwenang sesuai dengan bidang kegiatannya,
karena Indonesia menganut azas sponsorship
dan TKA hanya dapat bekerja dalam hubungan kerja (Pasal 50 s/d 66 UU N0 13
Tahun 2003). Proses “Indonesianisasi” jabatan-jabatan yang diduduki oleh tenaga
kerja asing senantiasa dilakukan dengan mensyaratkan adanya tenaga pendamping
warga Negara Indonesia bagi tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dan
mewajibkan melakukan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia, yang
secara keseluruhan dimaksudkan dalam rangka “transfer of knowledge” dan “transfer
of learning” dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indoneisa.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama
dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga
kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja
asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Kep-228/Men/2003 tentang Tata Cara Pengesahan RPTKA, dan
meminta izin penggunaan tenaga kerja asing (IMTA) sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep-20/Men/III/2004
tentang Tata Cara Memperoleh IMTA.
Sebelum diberlakukannya Undang-undang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003, seksi penempatan kerja dan tenaga kerja asing ( salah satu
struktur Dinas Ketangakerjaan Kota Batam) memiliki tugas dan wewenang untuk memproses
pemberian izin tenaga kerja asing di Kota Batam.[6] Akan tetapi setelah diberlakukannya undang-undang
tersebut, tugas dan kewenangan seksi pemberian izin dialihkan ke Pusat.
Ada sekitar 83
perusahaan di kota Batam, baik PMDN maupun PMA, sedangkan untuk penanaman modal
asingnya sendiri ada 76 buah perusahaan. Tenaga Kerja asing yang bekerja di
Batam + 1400 orang, pada waktu penelitian belum ada Perda yang mengatur TKA. Hal
tersebut disebabkan Kota Batam masih dalam masa transisi dimana pemerintahan
masih dilaksanakan bersama oleh Pemerintah daerah dan Otorita Batam.
Dapat
ditambahkan bahwa, Batam baru melaksanakan UUK khususnya Bab VIII Tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing pada bulan Agustus 2005, padahal Undang-undang
ini berlaku sejak tanggal diundangkan sejak tanggal 25 Maret 2003.
Dengan
diberlakukannya Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005
oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam, maka
SK ini mendapat
tanggapan keras dari kalangan pengusaha. Salah satunya adalah Himpunan
Kawasan Industri Indonesia khususnya Kantor Wilayah I, (Korwil I HKI) yang
meliputi Sumatera dan Kepulauan Riau.
Kepmenakertrans No
B 388/MEN/TKDN/VI/2005 sebagai suatu kebijakan dianggap bertentangan dengan
semangat Otonomi Daerah, di mana selama ini penyelenggaraan izin mempekerjakan
tenaga kerja asing (IMTA) mengacu kepada Kepmenaker RI Nomor : Kep.207/MEN/92
tertanggal 13 Juni 1992 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang kepada Kepala Kantor Departemen Tenaga Kerja Kota
Batam dan Wakil Depnaker pada Kantor Tim Koordinasi Pembangunan Propinsi Riau
(KTKP2R). Hal tsb sesungguhnya sudah sesuai dengan semangat otonomi daerah
serta tuntutan pelayanan publik yang lebih cepat. Keberatan lain yang menjadi
point penting adalah biaya yang cukup besar untuk mengurus pengajuan dan izin
penggunaan tenaga kerja asing.
Lain halnya di Jawa Timur.Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing menimbulkan
permasalahan baru yaitu sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD).Karena
di dalam kaitannya dengan dana kompensasi, diketahui bahwa di Provinsi Jawa
Timur terdapat sedikitnya 1400 tenaga kerja asing yang tersebar di wilayah
Kabupaten/Kota. Berkaitan dengan keberadaan tenaga kerja asing tersebut maka
Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuat Perda
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin
Kerja Perpanjangan Sementara dan Mendesak
Bagi tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; yang substansinya
memberikan pembebanan kepada pengguna tenaga kerja asing di Jawa Timur untuk
membayar dana kompensasi kepada pemerintah daerah provinsi dan hasil dana
kompensasi tersebut dibagi secara proporsional kepada setiap Kabupaten dan Kota
yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Sedangkan di Kabupaten Bekasi yang juga
merupakan salah satu daerah penelitian dan merupakan wilayah yang diperuntukkan
bagi kawasan industri. Perusahaan-perusahaan industri banyak mempekerjakan
tenaga kerja asing. Sedikitnya terdapat 1100 tenaga kerja asing, dari jumlah
tersebut sebagian besar berasal dari Korea dan Jepang. Peraturan Daerah Kabupaten
Bekasi Nomor 19 Tahun 2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, yang
mewajibkan tenaga kerja asing menyetor uang sebesar US$100 per bulan kepada
Pemerintah Kabupaten Bekasi. Akan tetapi, keberadaan tenaga kerja
asing di Bekasi belum memberikan keuntungan bagi pembangunan di wilayah
kerjanya. Salah satu alasannya adalah bahwa pemasukan pajak tenaga kerja asing
sebesar Rp.23 milyar, wajib disetor ke Pemerintah Pusat. Dana tersebut merupakan pendapatan
non pajak dan merupakan hak pemerintah pusat, karena dana yang diterima
bersumber dari dana pengembangan ketrampilan kerja (DPKK).DPKK merupakan sumber
pendapatan asli daerah , yang penggunaannya untuk
pembangunan daerahnya (PAD). Namun Departemen Keuangan mengatakan
bahwa DPKK adalah pendapatan non pajak dan harus disetor ke Pemerintah Pusat.
Hal tersebut dilandasi oleh Pasal 6 PERMENAKER Nomor 20 Tahun 2004 dimana dana
kompensasi penggunaan tenaga kerja asing di setor ke rekening Dana Pengembangan
Keahlian dan Ketrampilan (DPKK) pada bank yang ditunjuk Menteri.
III. Izin
Kerja Tenaga Asing (IKTA)
Pemberian izn
pengunaan tenaga kerja asing dimaksudkan agar pengguna tenaga kerja asing
dilaksanakan secara selektif dalam rangka pemberdayaan tenaga kerja Indonesia
secara optimal. Untuk menegakkan ketentuan di dalam perizinan yang telah diatur
sangat diperlukan pengawasan.
Untuk memberikan izin dalam
mempekerjakan tenaga kerja asing, diperlukan pengawasan sesuai dengan peraturan
yang berlaku, yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 20 tahun 2004
tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagai
pelaksanaan dari Pasal 42 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003.
Izin Kerja pada
prinsipnya ialah izin yang diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau pejabat
yang ditunjuk olehnya kepada majikan atau perusahaan tertentu untuk
mempekerjakan tenaga asing di Indonesia dengan menerima upah atau tidak selama
waktu tertentu.
Ada 2 (dua) macam izin, yaitu :
1.
Izin
mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing;
2.
Izin melakukan pekerjaan bebas
Menurut
jenisnya ada 3 (tiga) macam izin kerja tenaga kerja asing, yaitu
:
1.
Izin kerja
tenaga asing (baru);
2.
Izin kerja
tenaga asing (perpanjangan).
3.
Izin kerja
tenaga asing (pindah jabatan)
Khusus bagi pemohon
untuk mendatangkan dan mempekerjakan artis warga negara asing disponsori oleh
Badan-badan empresariat, dalam hal-hal tertentu hotel-hotel yang bertarap
internasional dapat mengajukan sendiri tanpa melalui empresariat. Pengguna TKA
dapat mempekerjakan TKA sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke berdasarkan KEPMEN Nomor
KEP-21/Men/III/2004.
Dalam rangka penanaman
modal asing dan penanaman modal dalam negeri, IKTA diminta ke Ketua BKPM
(Kep-105/Men/1977 tentang : ”Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi TKA”
dan Kep-105/MEN/1985 tentang : ”Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan RPTKA
dalam rangka Penanaman Modal” kemudian sejak 1 Juli 2000 dicabut dengan
Kep.03/Men/1990, selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga
Kerja atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 42
ayat 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).
Permasalahan timbul
dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah
dan Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 Tentang Pengakuan
Kewenangan Kabupaten dan Kota. Kemudian UU No 22 Tahun 1999 diganti dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun pelaksanaan pengajuan izin untuk
mempekerjakan tenaga kerja asing tetap berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 dan Kep.Menaker Nomor 20/Men/III/2004 karena Menteri Dalam Negeri tidak
berwenang untuk memberi izin mempekerjakan tenaga kerja asing. Kewenangan
pemerintah daerah hanya bagaimana penempatan dan pendayagunaan tenaga kerja
asing, perizinan dan pengawasan. Perizinan dalam hal ini adalah bila memperpanjang
izin penggunaan tenaga kerja asing (IMTA), serta memeriksa kelengkapan
perizinan. Hal tersebut sesuai pula dengan prinsip selektivitas (selective
policy) dan satu pintu (one gate policy) agar kebijakan tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap masalah keamanan (security) dan peluang kesempatan
kerja bagi TKI.
IV. Pengawasan
Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 pasal 176 s/d 181 mengatur tentang pengawasan tenaga kerja asing,
artinya undang-undang masih memungkinkan menggunakan tenaga kerja asing untuk bekerja
di Indonesia dengan syarat-syarat, tata cara perizinan, perencanaan,
pengendalian dan pengawasannya. Bentuk pengawasan terhadap perusahaan dalam
mempekerjakan tenaga kerja asing dilakukan oleh Ditjen Binawas, Departemen
Tenaga Kerja selaku pemberi izin .
Untuk pengawasan terhadap tenaga kerja asing merupakan
kewenangan Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Hukum Dan HAM, yaitu yang
bertugas melakukan pengawasan saat mereka masuk (pasal 48) dan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama berada di wilayah Indonesia.(pasal 49
s/d 53) UU No 9 Tahun 1992. Untuk mempekerjakan tenaga kerja ahli, pengawasan
berada pada departemen teknis sesuai dengan keahliannya seperti Konsultan Hukum
Asing ada pada Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan
HAM. Bentuk pengawasan adalah terhadap Jasa Konsultan Hukum (Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor JS.13/24/7, tanggal 6 Juli 1974).
Pada saat itu terdapat
pembatasan yang sangat ketat bagi ahli hukum asing untuk menjadi konsultan hukum di Indonesia. Konsultan
hukum hanya boleh menjadi Penasehat Hukum pada kantor Konsultan Hukum
Indonesia. Mereka berkedudukan sebagai karyawan dan hanya boleh memberi nasehat
bidang hukum negara asalnya atau Hukum Internasional. Oleh karena itu mereka
dilarang untuk mencampuri Hukum Indonesia baik di luar maupun di muka pengadilan.
Perwakilan atau cabang
usaha hukum asing pada saat itu dilarang berusaha di Indonesia baik secara
langsung maupun tidak langsung. Disamping itu konsultan hukum asing bekerja
pada kantor konsultan hukum Indonesia tidak boleh merupakan partner kantor
konsultan hukum asing di luar negeri atau mempunyai jabatan rangkap.
Untuk memenuhi
kebutuhan akan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat dan instansi pemerintah
dalam rangka menunjang kegiatan di
bidang perdagangan internasional, penanaman modal, perbankan, lembaga keuangan
non bank, hak milik intelektual, dan berbagai bidang hukum yang terkait
lainnya, pemerintah masih memperbolehkan para ahli hukum warga negara asing
bekerja di Indonesia.Untuk itu pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M-1.HT.04.02 Tahun 1991
tentang Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing Oleh Kantor Konsultan Hukum
Indonesia, yang diperbaharui dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor : M.01.HT,04.02 Tahun 1997 perihal yang sama. Dalam peraturan
tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Kantor Konsultan Hukum adalah
suatu persekutuan perdata (maatschap) yang didirikan oleh para ahli hukum warga
negara Indonesia yang mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa hukum kepada
masyarakat di luar pengadilan (non litigasi). Kantor Konsultan Hukum Indonesia
dapat mempekerjakan ahli hukum warga negara asing sebagai karyawan sesudah
mendapat izin bekerja dari Menteri Tenaga Kerja setelah sebelumnya mendapat
persetujuan dari Menteri Kehakiman. Untuk mendapatkan persetujuan tersebut,
kantor Konsultan Hukum mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman.
V.
Perlakuan Hukum TKA dari negara Malaysia.
Malaysia
merupakan negara industri baru yang sangat tergantung dari buruh migran yang merekrut
lebih dari 2 juta TKA dari 12 negara.
. Pada tahun 2003 Pemerintah Malaysia merekrut TKA dari
12 negara termasuk India dan China. Hal tersebut dilakukan karena berkaitan
dengan investasi dan perdagangan yang sedang booming berkenaan dengan
pembangunan menara kembar Petronas tertinggi didunia dan airport yang modern di
Kuala Lumpur. Tahun 2002 Malaysia mengamandemen Undang-undang Imigrasi tahun
1958 dan mulai berlaku sejak September 2002.[7] UU yang baru diamademen
tsb memberlakukan sanksi kepada buruh
migran yang illegal/undocument, agen dan majikan. Sanksi dapat berupa hukuman
penjara, denda dan hukuman cambuk serta deportasi. Setelah gelombang deportasi
dilaksanakan sejak tahun 2003, termasuk TKI, yang menyengsarakan TKI terutama
terhadap kaum perempuan dan anak di Nunukan. Tahun ini sebanyak 800.000 TKI
akan di deportasi kembali dari Malaysia
dan dari Arab Saudi 40.000 TKI .(Kompas 9 Juni 2007).
Sebagai
perbandingan perlakuan hukum terhadap TKA di suatu negara yaitu di Malaysia
dengan case study terhadap 2 orang TKA asal Pakistan, Mohammad Zaki Muhammad
Zaheer yang bekerja berdasarkan hukum ketenagakerjaan Malaysia (the Industrial
Relation Department) pada bulan April 1998 untuk pemutusan hubungan kerja (wrongful
dismissal) yang tidak adil. Lebih dari 2 tahun diadakan rekonsiliasi, tapi employer
tidak pernah hadir dalam rekonsiliasi tersebut. Akhirnya perkara tersebut
diteruskan ke kantor Pusat (Industrial
Relation Head Quarters) dan dilanjutkan ke Menteri Sumber Daya Manusia (Human Resource
Ministry) yang memutuskan agar disidang di Pengadilan Industri (Industrial
Court)
Tapi dalam
proses Pengadilan, Employer tidak pernah hadir. Yang hadir hanya istri employer
saja yang mewakili perusahaan, sehingga hakim dinyatakan bersalah tidak dapat
menghadirkan employer. Employer naik banding dan memutuskan bahwa pengadilan
wajib mendengar keterangan employer dan Zaki serta Zaheer. Employer kembali
naik banding ke Pengadilan Tinggi yang memutuskan bahwa Hakim bersalah dan
memerintahkan untuk persidangan ulang (retrial). Setelah menunggu 4 tahun
lamanya, dimana kasusnya harus di data ulang (refile), Zaki dan Zaheer tidak
dapat mencari alternatif dalam kasus ketenagakerjaan mereka dan Departemen
Imigrasi menolak untuk memberikan mereka visa, karena sudah overstay. Penolakan
visa dan hak untuk bekerja tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Malaysia. TKA
tidak dapat menyelesaikan kasusnya ke Pengadilan dengan berbagai cara yang
sangat merugikan TKA. Pemerintah tidak memberikan sanksi bagi employer yang tidak
melakukan kewajibannya terhadap TKA bahkan cenderung membela employer.Salah
satu bentuk perlindungan hukum terhadap TKA adalah bila TKA dapat mengakses ke
pengadilan bila hak hak nya sebagai tenaga kerja dilanggar.
Dari case
study tersebut nampak bahwa kebijaksanaan dan sistem keberpihakan terhadap
pengusaha serta pelanggengan dari sistem kerja yang eksploitatif masih
diterapkan terhadap migrant workers. Perlakuan hukum terhadap TKA tidak diselesaikan
berdasarkan hukum ketenagakerjaan (Hukum
publik) melainkan menggunakan Immigration Act Tahun 2002. Sedang bentuk
pengawasannya diutamakan dengan bentuk represif .
VI.
Penutup
Penggunaan
dan penempatan tenaga kerja asing memerlukan turut campur Pemerintah dengan
memperketat pengawasan dan membatasi serta menutup jabatan-jabatan tertentu
bagi tenaga kerja asing dengan menyediakan jabatan-jabatan tersebut bagi tenaga
kerja Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan RPJMN tahun 2004-2009 yang bertujuan
memperbaiki klim ketenaga kerjaan untuk kesejahteraan rakyat, disamping
menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi liberalisasi global terutama
dibidang ketenagakerjaan.
Untuk
menghadapi pengangguran terbuka yang dihadapi pemerintah yang naik secara
signifikan sejak tahun 1999,pemerintah wajib menyiapkan TKI yang terdidik dan
terlatih untuk ditempatkan di negara penerima dan perlindungan yang sesuai
dengan aturan yang telah disepakati dalam GATT. Dalam upaya globalisasi ekonomi
pemerintah wajib mengutamakan tenaga kerja Indonesia untuk masuk dalam pasaran
kerja dalam negeri sesuai dengan kebijakan yang telah diambil, dan menggantikan
TKI yang unskilled menjadi TKI yang proffessional siap pakai.
Jakarta 30 Juni 2007.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hasil
Penelitian tentang ”Permasalahan Hukum Tenaga Kerja Asing Di Indonesia”,
diketuai oleh Hesty Hastuti,SH,MH, BPHN- Departemen Hukum Dan HAM tahun 2005
2.
C. Sumarprihatiningrum,M.Si
: ”Penggunaan Tenaga Kerja Asing Di Indonesia”, diterbitkan oleh Himpunan
Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia (HIPSMI), Jakarta 2006.
3.
”Migrant
Workers Acces Denied”, Published by: Tenaganita-Malaysia
4.
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang : ”Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009. Percetakan CV Citra Utama, Jakarta –
2005.
5.
Undang-undang
RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang ”Ketagakerjaan”, Lembaran Negara RI Tahun 2003
Nomor 39, TLN RI Nomor 4279.
___________________________
[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Tentang “Penempatan
Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, tanggal 4-5 Juli 2007 di Hotel Shangri-La
Surabaya.
[2] Peneliti Hukum pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan
HAM RI
[3] Perbaikan iklim Ketenagakerjaan (Bab 23) dari PerPres No. 27 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Menengah Nasional Tahun 2004-2005.
[4] Sumarprihatiningrum dalam “Penggunaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, hal.
56.
[5] Ibid hal 2
[6] Hasil Penelitian BPHN tentang TKA di Batam,Bekasi dan Jawa Timur pada
tahun 2005. Dipilihnya ketiga wilayah tersebut karena daerah penelitian
merupakan daerah Kawasan industri yang sangat strategis dan banyak
mempekerjakan TKA.
[7] Undang-undang Imigrasi Malaysia telah diamademen pada tahun 2002 dikutip
dari “Migrant Workers, Access Denied”dipublikasikan oleh Tenaganita, sebuah
LSM/NGO di Malaysia yang melakukan promosi dan perlindungan kepada semua buruh
baik buruh migran maupun buruh domestik.